Ngopi santai
Kearifan dari Bibir Sungai
Kalau wajah gunung yang empunya sumber mata air itu murung, maka jauhilah sungai
Penulis: DionDBPutra | Editor: Huda Miftachul Huda
Cara klasik tradisional tapi pesannya masuk ke otak dan hati lalu menjadi aksi konkret.
Itulah sebabnya kami yang berasal dari Wanes dan tentu siapapun yang hidup di bibir sungai umumnya lebih waspada terhadap kemungkinan musibah terseret atau tenggelam di sungai.
Kakakku nomor dua, Heri Bata, kini guru SMAK Syuradikara Ende, punya modal mitigasi apik saat mengabdi lebih dari lima tahun sebagai guru di sebuah kecamatan di pinggir Sungai Mahakam, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Rupa-rupa Cara
Rupa-rupa cara orangtua di kampung kami mewariskan kearifan tentang sungai.
Mandi pun ada tata kramanya. Cara, waktu dan tempat harus tepat. Tidak boleh serampangan.
Tempat mandi terbaik di sungai adalah kolam, sebuah ceruk air yang tenang.
Bukan jeram! Anak-anak lazimnya tergoda untuk langsung cebur ke dalam kolam. Itu sangat tidak dianjurkan karena bisa kram kaki, tak sanggup berenang lalu tenggelam.
Sudah banyak kejadian demikian.
Orangtua mengajarkan kami, basahkan tubuhmu pelan-pelan mulai dari kaki, paha, pinggang, bagian perut dan selanjutnya hingga kepala.
Artinya ada proses penyesuaian suhu badan dengan air.
Setelah sekujur tubuh aman silakan berenang sepuas hati menikmati bening dan segarnya
kolam sungai.
Mandi siang bolong itu pemali. Orangtua di kampung kami acap menakut-nakuti anak dengan mengatakan kuntilanak suka jalan-jalan di sungai pada siang bolong.
Pesan moralnya adalah mandi di sungai mesti tepat waktu.
Saat terbaik pagi atau sore hari. Mandi tengah hari tak cukup baik bagi kesehatan.