Corona di Indonesia

Bali Punya Petuah Diam di Rumah di Musim Sakit, Pemerintah Terapkan Social Distancing Dua Pekan

Ternyata di Bali pun ada kearifan lokal yaitu tak keluar rumah di musim sakit. Hal tersebut dikatakan budayawan dan pegiat lontar Sugi Lanur.

Penulis: Putu Supartika | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/Rizal Fanany
Situasi di Jalan Legian, Kuta, Badung, Bali terlihat lengang, Sabtu (21/2/2020).   

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -- Guna mencegah meluasnya penyebaran virus Corona (Covid-19) pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya, salah satunya social distancing selama dua pekan.

Social distancing artinya setiap orang agar jaga jarak, menghindari kerumunan massa dan berdiam di rumah saja.

Ternyata di Bali pun ada kearifan lokal yaitu  tak keluar rumah di musim sakit. Hal tersebut dikatakan budayawan dan pegiat lontar Sugi Lanur.

“Bali punya petuah untuk diam di rumah di musim sakit, ‘da mesu masan gelem’. Sekarang dunia menghadapi ‘gumi kageringan'.

Artinya, jika kita bijak, ikuti petuah leluhur, maka ketika ‘masan gelem’ (musim sakit) kita imbau anak-anak agar tidak keluar. Orang tua kalau tidak penting sekali tidak keluar,” kata Sugi Lanus, Sabtu (21/3) siang.

Selain itu, ada juga nasihat menjelang Tumpek Wayang, anak-anak dilarang keluar rumah.

“Karena bhuta-kala sedang mencari tetadahan (korban tumbal). Tetadahan artinya mangsa. Ada periode alam dimana muncul penyakit, pas payogan Bhatari Durga dan lepas semua bhuta mencari tetadahan, mangsa,” katanya.

Menurut Sugi Lanus, saat ini musim wabah penyakit menular, sasih kageringan atau bulan persebaran penyakit.

“Banyak bentuknya dilukis dalam lontar-lontar. Memberi gambaran bakteri, virus, setan, jin, dan semua makhluk tak kasat mata yang membawa penyakit.

Gambaran imajiner tentang bakteri, kuman, virus, dan semuanya penyebab sakit itu ada,” katanya.

Dijelaskannya, jika bakteri, kuman, virus itu masuk mata, akan membuat sakit mata. Jika masuk perut jadi sakit weteng seperti muntaber, diare, tipus dan lainnya.

Apabila masuk ke napas akan menjadi gering panes (demam), paad (flu), kokohan (batuk), dekah sesekan (sesak napas) dan lainnya. Jika mereka menguasai air, jadi air kotor,  jadi koreng, cacar, kusta.

Gerubug Bah Bedeg

Sugi Lanus menambahkan, dulu Bali pernah terpapar wabah mengerikan. Wabah tersebut tercatat dalam beberapa lontar. Salah satunya terekam dalam Geguritan Jayaprana.

“Geguritan ini bukan hanya hayalan penduduk dan cerita sebelum tidur biasa. Ini adalah rekaman peristiwa wabah endemik yang sempat menghancurkan kehidupan di masa lalu yang lokasi kejadiannya di desa Kalianget, Kecamatan Seririt, Buleleng,” kata Sugi Lanus.

Menurut Sugi Lanus, tak jauh dari Desa Kalianget, terdapat cerita rakyat tentang asal-usul nama Desa Sidatapa yang punya kenangan tentang wabah yang menghancurkan desa.

“Mereka menyebutnya sebagai Gering Gerubug Bah Bedeg. Menurut cerita orang-orang tua ada wabah besar terjadi di Desa Sidatapa. Secara temurun dikisahkan dahulu Sidatapa bernama Desa Gunung Sari. Cikal-bakalnya ada kelompok keluarga yang terpisah-pisah tinggal di pedusunan Leked, Kunyit dan Sengkarung. Ketiganya bergabung membentuk desa, dinamakan Desa Gunung Sari,” imbuhnya.

Beberapa tahun kemudian, desa yang tenang ini berubah mencekam. Banyak kematian tiba-tiba dan tak masuk akal yang membuat warga ketakutan.

Kemudian datang seorang pertapa yang membantu  sehingga warga terselamatkan. “Desa ini kemudian namanya diganti menjadi Desa Sidatapa. Desa yang selamat karena seorang pertapa ‘siddha’ (berhasil) melakukan ‘tapa’,” katanya.

Tak hanya penduduk Sidatapa, Desa Pedawa, Desa Banjarasem dan Desa Kalisada pun mengenal kisah gerubug dan mereka mengenal Gering Bah Bedeg.

Masyarakat Desa Julah termasuk Sembiran, kecamatan Tejakula, punya kisah mengenai tanaman gerubug, sakit gede, bah bedeg dan gering agung. Jika penduduk keluar desa, mereka bawa daun intaran atau mimba (azadirachta indica).

“Menurut sejarahnya daun ini menyelamatkan masyarakat Julah dari gerubug. Intaran (mimba) menjadi tanaman yang wajib ada di setiap rumah.

Tanaman ini di Julah sangat disakralkan karena jasa menyelamatkan leluhurnya, dan khasiatnya sampai sekarang terbukti menyembuhkan berbagai penyakit. Intaran terus dipakai sampai saat ini sebagi sarana upacara seperti tepung tawar. Daunnya diusapkan di tangan untuk mematikan bakteri,” katanya.

Sugi Lanus mengatakan gerubug memiliki arti wabah yang menelan kematian mendadak dan serempak, tak ditemukan gejala lama, langsung mewabah dan menewaskan.

“Kata gerubug bisa dipakai ketika ternak mati mendadak serempak dan juga kematian manusia yang terjadi serempak dan mewabah,” paparnya.

Istilah gerubug banyak disebut dalam lontar-lontar Bali seperti Usada buduh, Usada Rarae, Usada kacacar, Usada Tuju, usada Paneseb, Usada Dalem, Usada Ila, Usada bebai, Usada Ceraken Tingkeb, Usada Tiwang, Usada Darmosada, Usada Uda, Usada Indrani, Usada Kalimosada, Usada Kamarus, Usada Kuranta Bolong, Usada Mala, Usada Rukmini Tatwa, Usada Smaratura, Usada Upas, Usada Yeh, Usada Buda Kecapi, Usada Cukil Daki, Usada Kuda, Usada Pamugpug, Usada Pamugpugan dan lontar lainnya.

“Kita mengenal ratusan penyakit (gering) yang pernah menimpa masyarakat Bali. Lontar ini adalah bukti kalau Bali pernah terpapar berbagai wabah. Salah satunya yang sangat ditakuti adalah gerubug,” katanya.

Bahkan menurut Sugi Lanus, di Dukuh Penaban, Karangasem memiliki tarian Canglongleng. Tari ini mengisahkan ketika Dukuh Penaban mengalami gerubug.

Kemudian ada orang pintar di desa mendapat pawisik untuk mengusir gerubug ini.  “Setelah itu dilakukan, gerubug pun hilang. Bendesa Dukuh Penaban menyebutkan tarian itu selalu ditampilkan setiap ada upacara atau aci di Pura Puseh Desa Dukuh Penaban,” katanya.

Mengacu pada pengalaman masa lalu ini, menurutnya, masyarakat harus waspada. “Bhuta-Kala dan Dewa itu juga ciptaan Hyang Widhi.

Ada kalanya Bhuta-Kala lewat atau nyelang margi (pinjam jalan), maka kita yang menepi dan mabrata mengurung diri.

Artinya kita diminta melakukan brata. Kalau sudah selesai paragin nyane (jalan mereka) kita bisa keluar sebagai mana mestinya.

Bahkan Gunung Agung meletus kita orang Bali menyebut kalau Ida makarya tur mamargi (beliau bekerja dan berjalan).

Kalau kekuatan alam sedang bergerak, kita yang nalar dan eling yang minggir dan menepi,” katanya. (i putu supartika)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved