Bali Belum Terapkan PSBB, Tapi Ojol Sudah Ambil Ancang-Ancang

Penerapan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang akan menyasar ojek daring menimbulkan gejolak.

Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/Adrian Amurwonegoro
Aktivitas belanja online di Pasar Badung, Kota Denpasar, Bali, Jumat (27/3/2020) 

Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Penerapan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang akan menyasar ojek daring menimbulkan gejolak.

Pasalnya, ojek dilarang mengangkut penumpang dan hanya boleh melayani jasa antar barang/makanan.

PSBB dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk memutus penyebaran virus corona disease atau Covid-19 sesuai peraturan menteri (Permenkes) No 9 Tahun 2020.

Saat ini peraturan tersebut baru diterapkan di DKI Jakarta.

Dirjen Layanan Kesehatan Kemenkes: Puskesmas Ikut Sediakan Layanan Pemeriksaan COVID-19

Diduga Cemburu, Shinta Layangkan Bogem ke Wajah Intan

Driver ojek online di Bali merespons wacana pemerintah itu meski belum diresmikan di daerah, mereka sudah ancang-ancang.

Seorang driver, Ali (40) menyampaikan, siap menaati aturan pemerintah untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19, namun tidak untuk jangka panjang.

“Kalau untuk mengantisipasi penyebaran covid-19 saya setuju tapi kalau untuk jangka panjang saya tidak setuju dikarenakan paling banyak untuk CS biasanya menggunakan jasa grab bike,” kata dia.

Menurutnya, saat ini pada aplikasi terbaru grab driver sudah disediakan layanan grab mart.

Sedangkan, pihaknya mendesak ke kantor grab untuk menonaktifkan serempak grab bike jika memang kebijakan ini sudah diberlakukan di Bali.

“Tapi walau grab bike tidak ada, sekarang sudah akan ada yang namanya grab mart. Sistemnya hampir sama dengan grab food tapi bedanya kita belanjanya di minimart yang bekerjasama dengan grab. Ini kita masih usahakan ke kantor agar grab bike di nonaktifkan,” jelas dia.

Sementara itu, Driver lainnya, Putu Y (29) mengatakan perlu dipertimbangkan lebih dalam apabila diterapkan kebijakan seperti itu, sebab berpotensi memicu kerumunan di resto.

“Kalau nunggu di resto dengan sistem jaga jarak semeter, tanpa aturan itu aja satu restoran bisa penuh ojol apalagi pakai aturan begituan, saya yakin tambah penuh ojol itu resto,” kata dia kepada Tribun Bali, (7/4/2020)

Selain itu, Putu mengaku menggantungkan pendapatan melalui aplikasi pick up penumpang karena lebih jelas pendapatannya.

“Kalau saya pribadi sebagai ojol jarang buka food karena takut ditipu order fiktif,” katanya.

Dengan dibatasinya pelayanan jasa ojol maka otomatis penghasilan mereka akan berkurang.

 Harus ada win-win solution untuk masalah ini.

“Harapan saya tidak usah dibatasi, dengan wabah gini saja kami sudah seperti digantung, apalagi dikurangi pelayanan kami, itu seperti memotong jalan rejeki kami tanpa memberikan jalan yang baru, semoga pemerintah dan penyedia aplikasi lebih bijak dalam hal ini,” beber dia.

Kadek Yudha (27) berpendapat bahwa layanan go-ride harus tetap aktif. Dengan catatan bahwa pihak aplikator mensuplai alat pelindung diri (APD) berupa masker dan hand sanitizer.

"Dalam kondisi ekonomi yang sudah seperti sekarang ini pengeluaran jalan trus, tapi pemasukan mulai nihil," beber dia. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved