Hasil Autopsi Independen Terungkap, Kematian George Floyd Karena Tak Bisa Bernapas
Dari foto yang beredar, tubuh George Floyd ditindih oleh Derek Chauvin, dan lutut polisi tersebut menekan leher George Floyd.
TRIBUN-BALI.COM - Ahli yang disewa keluarga George Floyd telah mengautopsi jasad George Floyd.
Mereka menyimpulkan kematian Floyd disebabkan oleh asfiksia.
Sebagai catatan, afiksia merupakan gangguan dalam pengangkutan oksigen ke jaringan tubuh, yang disebabkan terganggunya fungsi paru-paru, pembuluh darah, atau pun jaringan tubuh.
Menurut temuan awal dari pemeriksaan yang dirilis Senin (1/6/2020), pada kasus kematian, afiksia yang dialami George Floyd karena kompresi leher dan punggung yang menyebabkan kurangnya aliran darah ke otak.
Dikutip Tribunnews dari ABC News, para ahli menemukan, berat badan di punggung George Floyd, borgol, dan posisi merupakan faktor yang berkontribusi.
Dari foto yang beredar, tubuh George Floyd ditindih oleh Derek Chauvin, dan lutut polisi tersebut menekan leher George Floyd.
Para ahli menegaskan, hal tersebut menganggu kemampuan diafragma Floyd.
Laporan tersebut menyimpulkan George Floyd meninggal di tempat kejadian.
Sebagaimana diketahui, saat kejadian itu terekam, George Floyd merintih "Aku tidak bisa bernapas".
Kemudian, Kantor Pemeriksaan Medis Hennepis merilis temuan awal autopsi mereka pada Senin (1/6/2020).
Mereka menyatakan, kematian George Floyd merupakan pembunuhan yang disebabkan oleh penangkapan kardiopulmoner saat ditahan aparat penegak hukum.
Temuan Awal
Lebih jauh, Dr Michael Baden dan Direktur Layanan Autopsi dan Forensik Universitas Michigan Medical School, Dr Allecia Wilson menangani pemeriksaan independen yang baru diumumkan.
Sebagai catatan, Baden merupakan pemeriksa medis New York pada 1978 dan 1979.
Sebelumnya, Baden melakukan autopsi independen terhadap Eric Garner, yang dibunuh oleh polisi di Staten Island, New York (2014) dan Michael Brown, yang ditembak di Ferguson, Missuori di tahun yang sama.
Baden mengatakan, George Floyd dalam keadaan sehat sebelum kematiannya.
Ia mengatakan video kematiannya menunjukkan kompresi leher dan punggungnya dengan sangat jelas.
"Ketika dia mengatakan 'Saya tidak bisa bernafas,' sayangnya, banyak polisi mendapat kesan bahwa jika Anda dapat berbicara itu berarti Anda bernafas," katanya saat konferensi pers.
Lebih lanjut, Wilson menambahkan, laporan toksikologi dan pemeriksaan lainnya masih berlangsung.
Dia mengakui tidak memiliki akses ke sampel jaringan George Floyd.
"Kami meraa tidak akan mengubah atau mengubah penyebab kematian asfiksia mekanik," ungkap Wilson.
Lebih jauh, temuan awal pemeriksaan medis menyatakan, George Floyd memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya.
Termasuk penyakit arteri koroner dan penyakit jantung hipertensi.
Demo Membela George Floyd, Kematian Pria Kulit Hitam yang Membangkitkan Luka Lama
Dikutip Tribunnews dari Al Jazeera, huru-hara demonstran meletus di AS.
Mereka tidak hanya menyampaikan pembelaan atas kematian George Floyd.
Para pemrotes juga mengingat luka lama, atas pembunuhan yang dilakukan oknum polisi dan kekerasan terharap orang Afrika-Amerika tak bersenjata.
Pada 2015 lalu, para pengunjuk rasa berdemonstrasi selama lebih dari dua minggu, setelah polisi membunuh Jamar Clark (24) di Minneapolis.
Tak ada tuntutan yang diajukan terhadap petugas polisi yang terlibat.
Tahun berikutnya, Philando Catile (32) terbunuh oleh polisi pada saat pemberhentian lalu lintas di pinggiran kota Saint Paul.
Teman dekat Catile membagikan aksi penembakan di Facebook.
Petugas yang terlibat dalam insiden ini juga dilaporkan dibebaskan dari dakwaan pembunuhan.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Autopsi Independen Ungkap Kematian George Floyd Karena Tak Bisa Bernapas