Hukuman dan Sanksi Tidak Diperbolehkan di Sekolah Ramah Anak, Mengapa?
"Di sekolah ramah anak tidak boleh ada hukuman dan sanksi. Tetapi yang diizinkan adalah dengan disiplin positif ke si anak agar sadar. Rumus disiplin"
Penulis: Noviana Windri | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Wartawan Tribun Bali, Noviana Windri Rahmawati
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ketua Umum ASPIRASI Indonesia dan Fasilitator Nasional SRA, Bekti Prastiyani menjelaskan konsep SRA adalah Mengubah paradigma dari pengajar menjadi pembimbing, sahabat, dan orangtua; Orang dewasa memberikan keteladaban dalam keseharian; Memastikan orang dewasa di sekolah terlibat penuh dalam melindungi anak; dan Memastikan orangtua dan anak terlibat aktif dalam memenuhi 6 komponen SRA.
Prinsip SRA adalah Non diskriminasi; Kepentingan terbaik bagi anak; Hidup, kelangsungan hidup & perkembangan; Partisipasi anak; dan Pengelolaan yang baik.
"Di sekolah ramah anak tidak boleh ada hukuman dan sanksi. Tetapi yang diizinkan adalah dengan disiplin positif ke si anak agar sadar. Rumus disiplin positif yaitu disiplin harus, tegas harus, marah boleh, korban ditolong," paparnya.
Rumus marah boleh yang dimaksud adalah tidak merendahkan martabat anak, tidak adanya kekerasan secara fisik maupun verbal, fokus pembentukan perilaku.
• Maskapai Lion Air Kembali Terbang Pada 10 Juni, Berikut Syarat bagi Penumpangnya
• Mall di DKI Jakarta Mulai Dibuka Pekan Depan, Begini Aturan Jam Operasionalnya
• Transmisi Lokal di Denpasar, 3 Pasar Kini Jadi Cluster Covid-19, Gugus Tugas Kesulitan Tracking
Lalu, mengapa hukuman dan sanksi tidak diperbolehkan di SRA?
Bekti Prastiyani mengatakan hukuman dan sanksi akan memberikan rasa takut, jera, kecewa, dan sedih kepada anak.
Yang mengakibatkan si anak tidak melakukan kesalahan hanya sementara karena hukuman dan sanksi hanya bersifat jangka pendek.
"Ketika anak diberikan hukuman dan sanksi, di situlah hormon andrenalin yang memperbesar batang otak. Yang akibatnya bisa memperbesar sifat-sifat seperti hewan reptil. Bagaimana dia akan memangsa, membunuh, dan melarikan diri dari masalah. Itu yang banyak kita temui saat ini dari anak-anak kita. Anak-anak di depan kita baik-baik saja. Namun, di belakang kita perilakukanya tidak seperti kita harapkan" ungkapnya.
• Dilanda Covid-19, Survei Ini Sebut Ekonomi Indonesia Terburuk Sejak 2004
• 3 Pasar Jadi Cluster Baru Penyebaran Covid-19 di Denpasar, Pengunjung yang Kontak Diminta Lapor
Ia mencontohkan jika seorang anak terlambat datang sekolah dihukum untuk memungut sampah.
Secara sadar, pihak sekolah harus bertanya apakah si anak malu atau tidak jika dihukum memungut sampah seorang diri.
"Kalau bilang malu, artinya itu merendahkan martabat anak. Kedua, yang ada dipikiran anak itu adalah memungut sampah ternyata bagian dari kesalahan," jelasnya.
Solusinya adalah pendidik harus menanamkan bahwa kegiatan membersihkan lingkungan adalah kewajiban semua orang. (*)