Liputan Khusus
Pendidikan Kespro di Denpasar Masih Dianggap Tabu, Begini Sebabnya
Di era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi seperti sekarang, pendidikan tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) pada remaja
Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Di era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi seperti sekarang, pendidikan tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) pada remaja menjadi sangat penting untuk menghindari kasus kekerasan seksual pada anak.
Namun faktanya, masih banyak siswa maupun orangtua yang menganggap tabu membahas kesehatan reproduksi (kespro).
Dari catatan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar, kasus kekerasan seksual pada anak di Denpasar cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Bahkan, dari penelitian Kita Sayang Remaja (Kisara) di Denpasar selama ini menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan.
Menurut Koordinator Kisara Bali, Ni Luh Putu Nita Sri Dewi, masih adanya anggapan tabu membahas masalah kesehatan reproduksi, menjadi salah satu kendala dan tantangan yang dihadapi Kisara dalam mengedukasi remaja soal kesehatan reproduksi.
Selain itu, banyak yang menganggap pendidikan kespro tidak penting.
“Beberapa menganggap terlalu frontal dan terbuka, sehingga di awal kami menyampaikan materi biasanya banyak yang malu, acuh tak acuh.
Tapi setelah kami ajak sharing mereka baru sadar ternyata menjaga kesehatan reproduksi penting, karena mereka ternyata belum tahu cara menjaga kespro,” kata Nita Sri Dewi kepada Tribun Bali, belum lama ini.
Selama bergelut dengan siswa di sekolah, Kisara menemukan banyak remaja di jenjang SMP bahkan SMA menganggap belajar kespro artinya belajar untuk berhubungan seksual.
“Misalnya, ketika para mentor di kelas menjelaskan arti kata seks, kebanyakan remaja sering nyeletuk ‘gitu-gitu, mantap-mantap’, dan lain sebagainya,” tutur Nita.
Bahkan, yang sangat disayangkan oleh para mentor Kisara, ternyata tak sedikit orangtua remaja masih menganggap bahwa pendidikan kespro bisa meningkatkan perilaku beresiko pada remaja, karena mereka diperkenalkan soal hubungan seksual sejak dini.
“Selain itu, kesulitan kami di lapangan mengatur jadwal penelitian dengan waktu luang subjek penelitian.
Karena subjek penelitian merupakan remaja, jadi harus menyesuaikan dengan waktu sekolah yang terbatas di tengah kesibukan mereka,” kata Nita.
Kerjasama PKBI
Di Kota Denpasar, terdapat 76 sekolah SMP baik sekolah negeri, swasta maupun SPK.
Dari jumlah tersebut, baru 5 sekolah SMP di Denpasar yang mampu memberikan pendidikan KSR untuk anak didik mereka.
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga (Disdikpora) Denpasar mengaku tak memiliki dana untuk mendukung upaya pemberian pendidikan KSR di seluruh sekolah di Denpasar.
Disdikpora Denpasar pun menjalin kerjasama dengan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali sejak 2017 untuk dapat memberikan pendidikan KSR di sekolah-sekolah di Denpasar
“Baru lima sekolah di Denpasar, sisanya belum karena keterbatasan anggaran dari PKBI.
Selama ini dana dari PKBI saja, kami belum menganggarkan,” kata Kepala Bidang Pembinaan SMP, Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olah Raga (Disdikpora) Kota Denpasar, Anak Agung Gede Wiratama.
Lima sekolah SMP di Denpasar yang telah bekerjasama dengan PKBI Bali untuk memberikan pendidikan KSR yakni SMPN 6 Denpasar, SMP Wisata Sanur, SMP Saraswati 1 Denpasar, SMPN 3 Denpasar, dan SMPN 4 Denpasar.
“Awalnya tahun 2017, hanya tiga SMP, kemudian tahun 2018 disusul lagi dua SMP yang ikut program Setara (Semangat Dunia Remaja) dari PKBI Bali,” papar Agung Wiratama kepada Tribun Bali.
Pemerintah Kota Denpasar setiap tahun memberikan apresiasi bagi sekolah-sekolah yang telah mampu memberikan pendidikan KSR untuk anak didik mereka.
Pada tahun 2018 silam, Pemkot Denpasar sempat memberikan sertifikat apresiasi kepada lima sekolah tersebut.
Sertifikat apresiasi waktu itu diserahkan oleh Wakil Wali Kota Denpasar, IGN Jaya Negara, dan Kepala Disdikpora, dan Kepala Dinas Kesehatan Kota Denpasar dalam ajang Denpasar Festival 2018.
Sebagai anggota dari Aliansi Satu Visi tingkat nasional, PKBI Bali telah banyak bekerja dan berpengalaman dalam melaksanakan program keluarga berencana termasuk program pendidikan seksualitas komprehensif pada remaja di Bali.
Pemberian pendidikan seksualitas yang komprehensif pada remaja bertujuan untuk mencegah maupun mengurangi angka kehamilan tidak direncanakan pada remaja yang sebagian besar berakhir pada perkawinan usia anak.
Sejalan dengan itu, data Indeks Pembangunan Pemuda Indonesia tahun 2017 dari Kementerian Pemuda dan Olahraga, menunjukkan adanya peningkatan pada angka kehamilan remaja di Bali yang meningkat hingga dua kali lipat sebesar 37% dan pernikahan usia anak mencapai 23%.
Dari hal tersebutlah, menurut Wiratama, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual memang sangat penting diberikan pada remaja di Denpasar.
“Karena itu kan pendidikan tentang reproduksi, tentang keberanian anak untuk mengungkapkan isi hati, kemandirian anak. Ini kan pendidikan karakter.
Dia mau membela diri, misalnya oh sekarang saya punya pacar, ini tidak boleh dilaksanakan, jadi dia harus tahu itu,” katanya.
Dalam menjalankan program setara di lima sekolah SMP di Denpasar, Disdikpora Denpasar hanya sebatas menyiapkan guru yang dilatih oleh PKBI, dan siswa sebagai objek sasaran dari program tersebut.
Sebetulnya, kata Wiratama, Pemkot Denpasar berencana mengkucurkan anggaran untuk mendukung program setara ini agar bisa jangkauannya lebih banyak.
“Sudah direncanakan untuk dianggarkan, tapi karena ada dampak Covid-19, jadinya tidak bisa. Selama ini kerjasama sampai 2020.
Nah tahun anggaran 2021 kan maunya kami anggarkan, tapi karena ada pandemi, jadinya kami tidak bisa anggarkan. Dana tidak ada. Hanya dana tertentu saja,” ujar Agung Wiratama.
Dukung Program Setara
Salah satu volunteer PKBI yang mengawal project Setara, Rina Astuti, menceritakan bagaimana pengalamannya mengadvokasi pemerintah melalui Disdikpora dan sekolah-sekolah di Denpasar.
Namun sayangnya, pemerintah belum mendukung dana untuk program tersebut hingga saat ini.
“Dinas Pendidikan belum ada anggaran untuk program ini,” ungkap Rina. Ia pun membenarkan selama ini program-program Kisara dan PKBI murni bersumber dari PKBI.
Kendati pemerintah tidak men-support mereka dengan mengalokasikan APBD, tapi pemerintah membantu Kisara dan PKBI untuk mengawal project Setara tersebut.
“Meskipun tidak ada anggaran, tapi respons dari pemerintah baik dan mendukung dibuktikan dari adanya kerjasama dengan pemerintah kota, bahkan kami ada Dewan Penasehat Lokal yang terdiri dari Disdikpora, Dinkes, Bappeda, Kemenag, P2TP2A, KB Denpasar, Forum Remaja Bali, PHDI yang kerap kami ajak berdiskusi untuk kelanjutan setara di Denpasar,” ujar Rina.
Ada lima sekolah di Denpasar yang bersedia bekerjasama dengan PKBI untuk memberikan pendidikan kespro ke siswa mereka.
Dari sekolah yang telah bekerjasama dengan PKBI dalam program Setara, ada sekolah yang menyisipkan materi Setara melalui pelajaran khusus untuk program Setara, dan ada juga sekolah yang menyisipkan materi setara di pelajaran BK (Budi Pekerti).
Agung Wiratama pun menyatakan Disdipora Denpasar sangat mendukung program Setara, lantaran dinilai positif untuk masa depan remaja di Denpasar.
Selama tiga tahun pelaksanaan program Setara dari PKBI itu, ada sejumlah perubahan karakter anak di lima sekolah tersebut.
“Sebelumnya, kalau ada apa-apa siswa SMP tidak berani terbuka sama orangtuanya bahwa mereka punya pacar.
Sekarang dengan program ini mereka berani terbuka, dan cerita soal pacarnya. Jadi dalam program itu diarahkan bagaimana sebaiknya bersikap di usia mereka,” tutur Wiratama. (win)