Virus Corona

Begini Pandangan Sosiolog Unud Terkait Wacana Covid-19 Sebagai Konspirasi Elite Global

Selama masa pandemi masyarakat disuguhkan dengan narasi covid-19 sebagai konspirasi elite global, hal inilah yang memunculkan pro dan kontra

Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Wema Satya Dinata
Istimewa/dok.pribadi
Sosiolog Universitas Udayana, Wahyu Budi Nugroho 

Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kemajuan pesat teknologi informasi dan komunikasi membawa masyarakat memasuki era posmodern jauh sebelum pandemi covid-19 mendera dunia dan bangsa Indonesia.

Lantas apa korelasi Posmodern dengan masa pandemi covid-19.

Selama masa pandemi masyarakat disuguhkan dengan narasi covid-19 sebagai konspirasi elite global, hal inilah yang memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Dalam disiplin Sosiologi, Sosiolog Universitas Udayana Bali, Wahyu Budi Nugroho menejelaskan era posmodern adalah era di mana produksi informasi jauh lebih masif ketimbang produksi manufaktur (barang).

"Dalam era ini, setiap detik dan menit terjadi pembaharuan informasi, baik itu dari kanal-kanal media besar maupun perseorangan, semisal lewat status Facebook, cuitan Twitter, dan lain-lain," kata Wahyu kepada Tribun Bali, Selasa (21/7/2020) siang.

Pemanfaatan EBT Mengalami Kendala, Bali Masih Bergantung Pada Energi Fosil

Nekat Menerima 3 Kg Ganja, Beni Dikenakan Dakwaan Alternatif

Ramalan Zodiak Besok Rabu 22 Juli 2020, Sagitarius Jangan Khawatir, Virgo Jaga Toleransi

Dengan kata lain, lanjut dia, di era ini pula, setiap individu dapat memproduksi informasi sendiri; inilah yang menyebabkan terjadinya kekacauan dan “keruwetan” informasi dalam masyarakat, setidaknya pada dua dekade terakhir ini.

Wahyu menyampaikan, terkait hal di atas, seorang pakar komunikasi dan informasi bernama Kieron O’hara menyatakan, di era internet ini publik dihadapkan dengan bercampurnya antara informasi benar, informasi salah, dan keyakinan.

"Gabungan dari berbagai hal tersebutlah yang  bisa kita sebut sebagai “hoax”. Sialnya, media-media besar (mainstream) pun saat ini seringkali tidak luput dari hoax. Ini dikarenakan suatu informasi turut memiliki tingkat kevalidannya sendiri," bebernya.

"Ada informasi yang mudah diklarifikasi sehingga mudah dipastikan apakah itu hoax atau bukan. Tetapi ada juga yang begitu sulit diklarifikasi, ini umumnya dikarenakan informasi tersebut turut memiliki berbagai argumen atau bukti-bukti yang membenarkan versinya," imbuh dia.

Salah satu contoh dari sekian informasi di atas adalah, apakah Covid-19 merupakan konspirasi elit global.

Hal ini tentu sangat sulit diklarifikasi karena bukan tipe informasi lapis pertama atau di permukaan, melainkan informasi yang sifatnya berada di lapis ketiga atau keempat. Dan sekedar menunjukkan bukti-bukti samar di permukaan.

Namun, meskipun berbagai bukti tersebut sifatnya samar, narasi tersebut telah dapat dirangkai menjadi versi cerita tersendiri dikarenakan jumlahnya bukti samar sudah cukup banyak, pun dengan berbagai argumen yang menyertainya.

Lebih jauh, Wahyu mengungkapkan, satu hal yang kiranya masyarakat belum terbiasa dengan kultur posmodern ini adalah di samping kini setiap individu dapat memproduksi versi ceritanya masing-masing, individu juga berhak memercayai versi cerita mana yang  diyakini secara pribadi.

Sebetulnya, hal ini tak jadi soal selama itu tak merugikan pihak lain. Namun dalam konteks Covid-19, terlepas dari apakah virus ini nyata atau sekadar konspirasi untuk “menakuti-nakuti”, faktual turut termuat risiko di dalamnya.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved