Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996, Perlawanan Megawati, Mimbar Bebas, Tuduhan Makar hingga Bentrok
Kalau saya mau membuat makar tentu sudah saya lakukan. Kami hanya ingin menjaga harga diri warga yang porak-poranda dengan adanya Kongres Medan
TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan Kudatuli, menyisakan misteri sekaligus membentuk Megawati Soekarnoputri yang kita kenal saat ini.
Hari itu, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diambil alih paksa lewat pertumpahan darah.
Suasana di Jalan Diponegoro, Jakarta begitu mencekam.
Peristiwa Kudatuli bahkan disebut sebagai salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi, terutama terkait dualisme partai politik di Indonesia.
Sebelum sampai ke kerusuhan, hampir satu dekade lamanya PDI mengalami konflik internal.
Bergabungnya Megawati ke PDI pada 1987 meresahkan banyak pihak, terutama Pemerintah Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto.
• Gibran Berterima Kasih pada Megawati, Ini 45 Calon Kepala Daerah PDI-P pada Pilkada 2020
Kala itu, keluarga Soekarno menjadi korban ambisi Soeharto.
Upaya de-Soekarnoisasi dilakukan dengan membatasi pergerakan putra-putri Soekarno, terutama dalam politik.
Hanya ada tiga pilihan partai saat itu.
Partai Golkar yang menjadi alat Orde Baru melanggengkan kuasa, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merepresentasikan basis massa Islam, dan PDI.
Sejak Pemilu 1977, PDI selalu memperoleh nomor buncit dengan perolehan suara tak lebih dari 10 persen.
Upaya mendongkrak suara dilakukan dengan mendekati Megawati.
Kendati keluarga Soekarno yang semula sepakat tak ikut politik praktis, namun pada 1987 Megawati akhirnya luluh bergabung ke PDI.
Ketua Umum PDI saat itu, Soerjadi, berhasil menjadikan Megawati dan adiknya Guruh Soekarnoputra sebagai vote getter bagi mereka yang merindukan sosok Soekarno.
• Ingat pada Pesan Bung Karno, Megawati Minta Calon Kepala Daerah Dukung Pemerintah Hadapi Covid-19
Jadi Ancaman