Citizen Journalism

Fetisme Gilang dalam Pandangan Psikososial

Namun, hal ini menjadi tidak wajar atau tidak normal ketika seseorang memiliki angan-angan berlebihan terhadap suatu komoditas.

Editor: Wema Satya Dinata
Istimewa/dok.pribadi
Sosiolog Universitas Udayana, Wahyu Budi Nugroho 

Oleh: Wahyu Budi Nugroho (Sosiolog Universitas Udayana)

Dalam sosiologi, dikenal dua istilah fetisme, yang pertama fetisme komoditas, dan kedua fetisme sebagai penyimpangan sosial (social deviant).

Fetisme sendiri bisa diartikan sebagai pemujaan berlebih terhadap sesuatu, umumnya terhadap benda.

Fetisme menjadi sesuatu yang wajar atau tidak wajar (tidak normal) berdasarkan konteksnya.

Dalam hal fetisme komoditas, pada batas-batas tertentu masih wajar, ini dikarenakan betapa gencarnya produsen-produsen komoditas konsumtif memromosikan produknya kepada masyarakat sehingga masyarakat mempunyai angan-angan atau minat yang begitu tinggi terhadap komoditas tersebut.

Namun, hal ini menjadi tidak wajar atau tidak normal ketika seseorang memiliki angan-angan berlebihan terhadap suatu komoditas.

Punya Mental Baja, 5 Zodiak Ini Dikenal Tak Mudah Menyerah, Aries Tak Mudah Terintimidasi

Idul Adha di Tengah Pandemi Covid-19, Jumlah Hewan Kurban DPW LDII Bali Turun 15 Persen

6 Drakor Ini Serupa dengan ‘Vagabond’, Cocok untuk Menemani Waktu Anda di Akhir Pekan

Misalnya, kita pernah menemukan beberapa kasus soal siswi yang rela menjual dirinya untuk memperoleh gawai keluaran terbaru, atau siswa yang rela melakukan tindakan kriminal agar bisa memperoleh motor baru yang dikehendakinya.

Sementara, fetisme sebagai penyimpangan sosial, apa pun wujudnya, dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal atau tidak wajar.

Umumnya fetisme ini didefinisikan sebagai ketertarikan seksual terhadap suatu benda. Mengapa tidak normal? Karena ditemui “relasi yang tertukar” di dalamnya, yakni relasi I-Thou (Aku-Kamu sebagai manusia) dengan relasi I-It (Aku dengan benda).

Seyogiyanya, hubungan manusia dengan benda memiliki karakter I-It, namun dalam fetisme, relasi itu tertukar dengan I-Thou, sehingga seseorang bisa memperlakukan benda layaknya manusia, atau sebaliknya: memperlakukan manusia layaknya benda.

Kasus fetisme seksual Gilang yang sedang heboh akhir-akhir ini kiranya dapat dimasukkan dalam klasifikasi terakhir, yakni bagaimana seseorang memperlakukan manusia layaknya benda.

Agaknya secara spesifik, kasus ini bisa digolongkan sebagai “nekrofilia”, yakni ketertarikan seksual terhadap mayat, jenazah, atau tubuh orang yang sudah meninggal—mengingat pelaku selalu meminta korbannya membungkus diri dengan kain menyerupai orang yang sudah meninggal (baca: dipocong).

 Apa yang menyebabkan seseorang memiliki perilaku demikian? Terdapat beberapa kemungkinan.

Pertama, trauma, umumnya trauma diartikan sebagai “luka yang membekas”, namun trauma dapat pula diartikan untuk hal-hal lain yang begitu membekas pada diri seseorang, dan tidak selalu harus luka.

Kedua, karena adanya trauma ini, seseorang memerlukan rangsangan seksual yang tidak wajar, berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Ia memerlukan fantasi yang “luar biasa” agar bisa menyalurkan hasrat seksualnya, sementara untuk orang-orang normal, fantasi tersebut masih biasa-biasa saja.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved