Citizen Journalism
Fetisme Gilang dalam Pandangan Psikososial
Namun, hal ini menjadi tidak wajar atau tidak normal ketika seseorang memiliki angan-angan berlebihan terhadap suatu komoditas.
Di sini, menjadi menarik untuk sedikit mengkaji lebih jauh tentang apa fungsi fantasi.
• 6 Drakor Ini Serupa dengan ‘Vagabond’, Cocok untuk Menemani Waktu Anda di Akhir Pekan
• Ibu Muda Driver Ojol Lawan Dua Begal Dini Hari, Gemeteran Saat Merebut Celurit
• BREAKING NEWS : Cok Ace Sambut Kedatangan Wisatawan di Hari Pertama Pembukaan Bali Untuk Wisnus
Dalam psikoanalisis, fantasi berfungsi untuk “menjaga minat individu”. Dalam arti, tanpa fantasi tersebut, individu tidak akan lagi memiliki minat akan sesuatu.
Sebagai misal, pada pasangan suami-istri yang telah jenuh, hubungan seks antarmereka boleh jadi melibatkan empat orang, karena suami membayangan istri sebagai wanita lain, dan begitu pula istri membayangkan suami sebagai pria lain.
Fantasi ini diperlukan agar mereka tetap berminat berhubungan seks meskipun telah jenuh. Dalam kasus Gilang, pelaku kiranya memerlukan fantasi tubuh yang sudah meninggal agar bisa menyalurkan hasrat seksualnya.
Tubuh yang seolah sudah meninggal itu seakan merepesentasikan “kepasifan total”, dan pelaku seakan hanya bisa dirangsang oleh hal-hal semacam itu.
Boleh jadi, pelaku hanya dapat membangkitkan gairah seksualnya jika membayangkan atau menempatkan dirinya sebagai “pemain tunggal” yang bisa dengan aktif dan bebas memperlakukan objek seksualnya tanpa respons.
Ketiga, perilaku menyimpang ini dapat pula diakibatkan oleh sosialiasi yang tidak sempurna.
Era internet menyebabkan setiap individu bisa mengakses informasi tanpa batasan, termasuk kanal-kanal pornografi dengan berbagai variannya, termasuk nekrofilia—ketertarikan seksual terhadap mayat.
Bisa jadi, keterarikan seksual awal pelaku disebabkan oleh kerapnya mengakses situs-situs porno tersebut, baru kemudian memberanikan diri mempraktikkannya secara langsung.
Lebih jauh, psikiater dan sosiolog dapat membantu mengatasi persoalan ini. Psikiater dapat melacak masa lalu pelaku sehingga diketahui sejak kapan penyimpangan ini timbul.
Dengan kata lain, psikiater akan mampu menemukan momen-momen spesifik dalam kehidupan pelaku yang begitu memengaruhinya (trauma), untuk kemudian memaknai atau menafsirkan kembali momen-momen itu sehingga pelaku dapat memberikan respons ulang dan tidak justru terjebak pada aktivitas seksual yang menyimpang.
Dalam hal ini, pelaku pun pada akhirnya bisa juga ditempatkan sebagai korban, layaknya orang-orang dengan perilaku seksual menyimpang yang awalnya merupakan korban tindakan serupa.
Di samping itu, sosiolog dapat ikut mendampingi pelaku ataupun keluarga pelaku guna memperoleh sosialisasi yang sempurna, dalam arti sosialisasi yang sesuai dengan nilai, norma, dan budaya masyarakat.
Terkait hal ini, sosiolog bisa merekomendasikan konsumsi berbagai informasi yang sehat serta melakukan terapi interaksi sosial terhadap pelaku.