SK Kemenaker No.151 Dicabut, Sekitar 22 Ribu PMI Asal Bali Bisa Kembali Bekerja ke Kapal Pasiar
dari sisi pemerintah tidak ada untungnya menahan-nahan untuk tidak segera menarik Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 151/2020 tersebut.
Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Wema Satya Dinata
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Surat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 151 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia secara resmi dicabut.
Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziyah mengatakan, pencabutan SK 151 itu guna mendukung percepatan pemulihan nasional serta memperhatikan kebijakan beberapa negara penempatan yang sudah membuka tenaga kerja asing.
"Maka kami memandang perlu untuk membuka kembali kesempatan bagi calon pekerja migran Indonesia untuk dapat bekerja kembali di negara tujuan penempatan, dengan tetap mengedepankan prinsip perlindungan hak-hak pekerja migran serta protokol kesehatan," kata Ida dalam video konferensi, Kamis (30/7/2020) kemarin.
Dia menjelaskan, dari sisi pemerintah tidak ada untungnya menahan-nahan untuk tidak segera menarik Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 151/2020 tersebut.
Terlebih lagi, semua pihak-pihak terkait sudah siap untuk membuka kesempatan bagi pekerja migran.
• Angka Kesembuhan Pasien Covid-19 di Kota Denpasar Capai 85,56 Persen, Kasus Positif Tambah 15 Orang
• Kisah Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda, Ditinggal Ayah Sejak Dalam Kandungan (1)
• Danrem 163/Wira Satya Beri Arahan kepada Jajarannya Terkait Atensi pada Covid-19 & Pilkada Serentak
"Jadi sekali lagi saya katakan tidak ada untungnya pemerintah untuk menahan-nahan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan itu. Setelah kita bisa pastikan semuanya siap, baru kita lakukan pembukaan kembali," imbuhnya.
Dicabutnya SK 151 tersebut disambut gembira oleh para pekerja kapal pesiar Bali yang jumlahnya mencapai sekitar 22 ribu.
Sebab pada 7 Juli lalu ada 257 PMI khususnya pelaut yang batal berangkat ke kapal pesiar karena terhalang aturan itu.
“Dengan dicabutnya SK 151 itu sangat melegakan kami. Yang pertama adalah bahwa artinya mereka yang berangkat berangkat baik itu melalui pesawat komersial terutama charter tanggal 7 Juli terhalang dan jelas-jelas dari KBRI mengatakan karena ada SK 151," kata Ketua Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Cabang Bali, Dewa Putu Susila.
Dewa Susila menjelaskan, ada beberapa keuntungan dicabutnya SK 151 tersebut.
Pertama, status para PMI yang kembali bekerja menjadi sah secara hukum. Dalam artian, mereka tidak berstatus ilegal di negeri orang.
"Karena kan selama ini meskipun ada SK 151 itu dan mereka sudah lengkap dokumen, terutama visa, dia sudah bisa terbang kan begitu. Tapi kalau misalnya kita menilik 151 secara aturan dari kacamata Kemenaker 151 mereka dianggap ilegal. Nah makanya itu sangat mengkhawatirkan kita sebelumnya," ujar Dewa Susila.
Sebelumnya, Dewa Susila begitu getol menyuarakan ini di media sosialnya terutama di akun facebooknya karena menurutnya adanya SK 151 tersebut menjadi penghambat bagi pekerja kapal untuk kembali bekerja.
Selain itu, SK Kemenaker 151 itu juga bisa membahayakan PMI ketika terjadi resiko yang tidak diinginkan.
"Karena yang kita khawatirkan adalah ketika terjadi resiko. Bukan dalam keadaan aman-aman saja. Karena ketika terjadi resiko kemudian dengan belum dicabutnya SK 151 artinya pemerintah bisa saja lepas tangan terhadap berdasarkan itu," ucap Dewa Susila.
• Danrem Brigjen Husein Pimpin Serah Terima Lima Jabatan Strategis di Lingkungan Korem 163/Wira Satya
• Jelang WorldSSP 2020 di Spanyol, Galang Hendra Optimis Hasil Maksimal di Putaran II World Supersport
• Update Covid-19 di Bali: Bertambah 48 Pasien Sembuh, 41 Orang Dinyatakan Positif
Selain itu, dengan dicabutnya SK Kemenaker 151 tersebut, Indonesia bisa terbebas dari sanksi yang dikeluarkan Internasional.
Sanksi tersebut bisa berupa penghentian perekrutan pekerja dari Indonesia dan sebanyak 22 ribu pekerja Bali bisa terancam tak bisa lagi bekerja di luar negeri khususnya di kapal pesiar.
Sebab, Indonesia termasuk negara yang ikut dalam perjanjian soal crew changes
"itu sanksi terberat bisa ada sanksi sementara untuk merekrut tenaga kerja pelaut dari Indonesia. Itu kalau sampai dihentikan, luar biasa dampaknya. Pasti akan berkurang kuota kita. Kalau saya bicara di Bali, dari 22 ribu bisa berkurang drastis bisa jadi tinggal 10 ribu bisa 5 ribu dan sebagainya," ujar Susila
Sebelumnya, lanjut Dewa Susila, Indonesia melalui Kemenko Kemaritiman sudah mengikutsertakan Kementerian Tenaga Kerja RI, Kementerian Perhubungan RI, KKP dan instansi terkait untuk mengikuti summit meeting yang digelar Organisasi Maritim Dunia IMO pada 9 Juli 2020 lalu terkait dengan crew changes tersebut.
"Dan pada tanggal 9 itu, Indonesia ikut menandatangani bersama dengan 12 negara yang menandatangani. Tujuannya untuk mensupport diadakannya crew change ini. Jadi crew change yang dimaksud adalah, negara atau pemerintah tidak boleh menghambat keberangkatan mereka. Harus memberikan kemudahan-kemudahan," jelas Dewa Susila.
Itu sebabnya, KPI Bali selama ini berteriak lantang agar pemerintah Indonesia konsisten dengan kesepakatan tersebut.
Jika SK tersebut tidak direvisi atau dicabut, maka Indonesia akan disebut bodoh serta ditertawai dunia internasional.
Dia menjelaskan, crew change ini adalah pergantian crew di atas kapal dalam kurun waktu tertentu.
Jadi meskipun kapal beroperasi atau tidak beroperasi, kapal pesiar akan tetap menaruh 20 sampai 30 persen crew mereka di atas kapal.
"Misalnya pada saat pandemi ini, memang ada penawaran jadi tidak ada pemaksaan. Walaupun kewajiban bahwa kapal berhak menahan 20-30 persen crew di atas kapal. Tapi pada waktu pandemi kemarin mereka ditanyakan, atau ditawarkan, kamu mau mau pulang atau mau diam di atas kapal. Kondisi 2-3 bulan kedepan gaji full, tapi setelah itu lihat kondisi," jelas Dewa Susila.
Nah ketika crew yang ditawarkan itu bersedia, mereka ditahan di atas kapal dan tetap bekerja. Namun demikian, jika sudah waktunya misalnya sudah 8-12 bulan bekerja di atas kapal, mereka sudah harus digantikan. Inilah yang dinamakan crew changes.
"kan tetap ada acuan mereka 8 bulan maksimal 12 bulan sudah harus pulang. Karena kalau mereka sudah lebih dari waktu yang sudah ditentukan, secara psikologi kapal karena sudah waktunya itu pasti akan menggangu keselamatan kerja, artinya tidak teliti lagi, kelelehan dan secara mental kalau kita diatas kapal sekian lama pasti banyak terganggu, karena tidak bertemu keluarga, istri, suami dan lain sebagainya," ujar Susila
Dewa Susila mengaku menginformasikan secara internasional bahwa Pemerintah Indonesia sudah mencabut SK Kemenaker No 151 tersebut, dan selanjutnya para calon pekerja bisa mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan oleh dunia pada masa pandemi covid 19 ini.
"Dan sekarang kami bisa lebih sounding lagi ke perusahaan-perusahaan bahwa kita siap, dan ini dalam waktu dekat kami rencanakan tanggal 4 Agustus ini mudah-mudahan tidak meleset," ujar Susila.
Saat ini, informasi terbaru yang ia dapatkan, ada 900 PMI atau pelaut yang diminta untuk kembali bekerja kembali.
Mereka rencananya bakal diberangkatkan secara bertahap.
"Jadi rencana awal akan diberangkatkan 281 crew menggunakan pesawat charter airline, langsung dari Denpasar ke Doha, kemudian ke Milan. Karena joinnya mereka di Italia. Itu informasi yang sekarang ada," ungkap Dewa Susila
Sedangkan, 257 Pekerja Kapal yang sebelumnya batal berangkat pada 7 Juli lalu saat ini belum berangkat.
Mereka direncanakan berangkat dari Jakarta, hanya saja masih memerlukan update dokumen terutama hasil VCR atau swab test yang sudah kedaluarsa.
"Sekarang masih pihak agent sedang diperintahkan dan mereka sudah mengumpulkan lagi yang kemarin batal. Mereka kan secara otomatis ada yang VCRnya sudah mati kan begitu. Dalam artian, pada saat tiba disana, VCRnya itu masih berlaku 72 jam. Ini kita harus koordinasi kuat dengan pihak agent dan rumah sakit yang menangani ini agar ditemukan win win solution," jelas Dewa Susila.(*)