Corona di Bali

Ajukan Ranperda Perubahan Kedua Atas Perda Retribusi Jasa Umum, Koster Pasang Tarif Rapid Rp375 Ribu

DPRD bersama Pemprov Bali kini sedang membahas Ranperda tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Dokumentasi DPRD Bali
Foto: Anggota Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) DPRD Bali, I Ketut Suwandhi membacakan pandangan umum fraksinya dalam rapat paripurna ke-12 masa persidangan II tahun 2020 DPRD Bali, Senin (10/8/2020) 

Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR-Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali kini sedang membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum.

Ranperda tersebut dibahas setelah diajukan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster dalam rapat paripurna DPRD Bali ke-11 masa persidangan II tahun 2020, Rabu (5/8/2020) lalu.

Di dalam lampiran Ranperda tersebut, Gubernur Koster ternyata mencantumkan harga rapid test antibodi sebesar Rp 375 ribu.

Padahal dalam surat edaran (SE) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI nomor HK.02.02/I/2875/2020 Tentang Batasan Tarif Tertinggi Rapid Test Antibodi, dipatok harga tarif termahal sebesar Rp 150 ribu.

Jelang Berakhirnya Proses Coklit Pilkada Badung 2020, Bawaslu Temukan Lagi Joki PPDP di 2 Kecamatan

Ok Taecyeon Akan Membintangi Drakor Vincenzo Bersama Song Joong Ki & Jeon Yeo Bin

Kiper Persib Bandung asal Bali I Made Wirawan Antusias Mengikuti Latihan Perdana

Nilai harga rapid test antara aturan Kemenkes RI dengan yang tercantum di Ranperda Retribusi Jasa Umum ini sontak menjadi pertanyaan di kalangan DPRD Bali.

"Berkaitan dengan tarif rapid test (RTD) yang tercantum dalam lampiran sebesar Rp 375 ribu, sementara Peraturan Menteri Kesehatan RI maksimal sebesar Rp 150 ribu, dibutuhkan standarisasi yang pasti agar tidak memberatkan masyarakat di satu sisi pelaksanaan," kata Anggota Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) DPRD Bali, I Ketut Suwandhi saat membacakan pandangan umum fraksinya dalam rapat paripurna ke-12 masa persidangan II tahun 2020 DPRD Bali, Senin (10/8/2020).

Sementara itu, Fraksi Partai Demokrat DPRD Bali menilai, perlu dipertimbangkan bahwa Raperda ini sedikit sensitif bila dikaitkan dengan situasi pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) karena telah terjadi suasana keprihatinan, baik di tingkat nasional bahkan dunia.

Oleh karena itu, yang paling diharapkan oleh masyarakat saat ini adalah kebijakan yang adaptif bagi suasana kebatinan.

Hal-hal yang berbau membebani maka akan mendapat tantangan dan protes dari masyarakat.

"Untuk itu Fraksi Partai Demokrat menyarankan agar dilakukan instruksi gubernur mengenai pengenaan tarif jasa rapid test yang tidak melebihi standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan hendaknya dilakukan pengenaan tarif retribusi yang proporsional, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta," pinta Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Bali, I Komang Wirawan.

Tak hanya itu, jika Ranperda ini berhasil ditetapkan menjadi Perda dan untuk mewujudkan pelayanan publik yang maksimal maka Fraksi Partai Demokrat menyarankan agar dibuat instruksi gubernur tentang relaksasi retribusi, relaksasi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu, khususnya yang berkaitan dengan relaksasi tarif pelayanan kesehatan masyarakat dan tarif pelayanan publik lainnya.

Sebelumnya, Koordinator Pembahasan Ranperda tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum, Ida Gede Komang Kresna Budi menjelaskan, bahwa masyarakat banyak yang keberatan dengan biaya yang harus dikeluarkan saat melakukan rapid test.

"Selama ini kan simpang siur. Masyarakat merasa ada ketidakadilan, tiba-tiba ada berita rapid test Rp 300 ribu, ada Rp280 ribu. Jadi provinsi menetapkan Rp 150 ribu, itu pun harus ada Perda yang mengatur," jelasnya, Kamis (6/8/2020).

Kresna Budi menambahkan, jika untuk faskes milik pemerintah memang dipastikan akan bisa disesuaikan, namun yang menjadi permasalahan yakni fakes swasta.

"Untuk menjamin kegalauan masyarakat, yang merasakan bayar Rp 280 ribu, kenapa saya bayar mahal, kadang-kadang di swasta kok mahal. Sedangkan sekarang kan sudah ada keputusan gugus tugas adalah Rp 150 ribu, itu pun kita harus merevisi lagi aturan retribusi jasa kita," tambahnya.

Politisi Partai Golkar itu mengakui bahwa harga rapid test yang diatur dalam Perda pasti bakal menimbulkan pertanyaan.

Padahal sudah ada SE yang mengatur batas harga tertinggi, baik dari Kemenkes RI maupun dari Pemprov Bali.

Menurutnya, harga rapid test diatur dalam Perda lebih menitikberatkan pada sinkronisasi agar tidak terjadi variasi harga.

Ketua Komisi II DPRD Bali ini menegaskan, sampai saat ini masih ada pandangan bahwa harga rapid test di setiap daerah di Bali berbeda-beda.

Di Gilimanuk misalnya harga rapid test sebesar Rp 280 ribu, namun di Gugus Tugas Rp 150 ribu dan di faskes swasta bisa lebih mahal menjadi Rp 300 ribu sehingga perlu adanya sinkronisasi.

"Atas dasar itulah kita merevisi Perda Nomor 2 Tahun 2011 ini. Ini diatur karena ada ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Kalau masyarakat perlu ya ini fasilitas yang bisa diberikan pemerintah kepada masyarakat. Kalau bisa ditekan sekecil mungkin, biar tidak memberatkan orang-orang yang mau berpergian," jelasnya.

Dalam rapat paripurna DPRD Bali ke-11 masa persidangan II tahun 2020 lalu, Gubernur Koster mengatakan, bahwa pada kondisi pandemi Covid-19 pemerintah menerapkan tatanan new normal.

Salah satu kebijakan yang dikeluarkan dalam new normal yakni setiap masyarakat yang akan bepergian ke suatu daerah atau kota wajib membawa surat keterangan negatif rapid test maupun swab berbasis reaksi rantai polimerase atau polymerase chain reaction (PCR).

Kebijakan itu berdasarkan SE Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 5 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

"Surat keterangan uji tes Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dengan hasil negatif yang berlaku 7 hari atau surat keterangan uji Rapid-Test dengan hasil non reaktif yang berlaku 3 hari pada saat keberangkatan. Tapi sekarang sudah diubah, masa berlakunya sama-sama menjadi 14 hari," tuturnya.

Koster menuturkan, UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali juga melaksanakan pemeriksaan rapid test dan swab/PCR.

Namun saat ini belum adanya regulasi tentang biaya/tarif pemeriksaan rapid test dan swab/PCR sehingga menyebabkan setiap faskes, baik pemerintah maupun swasta menentukan tarif yang bervariasi. (*).

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved