Guru Besar FP Unud: Seharusnya Bali Kurangi Ketergantungan Pariwisata Sejak 20 Tahun Lalu

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, bahwa Bali harus segera melakukan transformasi pembangunan ekonomi dan

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Kolase Tribun Bali/I Wayan Sui Suadnyana/Zaenal Nur Arifin
Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana (Unud) Prof Dr Ir I Wayan Windia, SU 

Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, bahwa Bali harus segera melakukan transformasi pembangunan ekonomi dan tidak terus bergantung dari sektor pariwisata.

Pernyataan Airlangga dalam Rapat Koordinasi Tingkat Menteri (RKTM) di Hotel Sofitel, Nusa Dua Bali, Jumat, (21/8/2020) lalu tersebut mendapatkan tanggapan dari Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana (FP Unud), Prof. I Wayan Windia.

Prof. Windia menilai, pernyataan yang dikeluarkan oleh Airlangga seharusnya sudah dilakukan di Bali 20 tahun yang lalu.

Pada saat itu sudah ada kekhawatiran yang mendalam terhadap situasi perekonomian Bali yang sangat pincang dibandingkan dengan 30 tahun sebelumnya.

Sektor tersier (pariwisata) sudah terlalu dominan dan sektor primer (pertanian) sudah sangat terpuruk.

Tiga Peluru Black Mamba Tembus Tubuh Bos Ekspedisi Pelayaran, Tewas Seketika di TKP

286.466 Rekening Peserta BPJamsostek di Bali Bakal Terima BLT

Menkes Buka ASEAN Senior Officials Meeting On Health Development Ke-15 Secara Virtual

"Tetapi yang namanya manusia, selalu ingin enaknya saja. Gubernur berganti gubernur, bupati berganti bupati, tetapi tidak ada perubahan kebijakan pembangunan," kata Prof. Windia dalam siaran persnya yang diterima Tribun Bali, Senin (24/8/2020).

Ahli Subak Unud ini menilai, saat ini semuanya sudah terlena dengan zona nyaman yang menggiurkan, glamor, gampang memetik pendapatan asli daerah (PAD) dan kemudian terlena pada angka-angka pertumbuhan ekonomi.

Padahal, keberadaan sektor pariwisata di Bali sudah beberapa kali "digoda", di antaranya oleh perang teluk, perang Iran-Irak, resesi dunia, isu flu burung, isu kolera, penyakit gila anjing dan sebagainya.

"Tetapi tetap saja kita tidak bergeming. Tampaknya, hanya virus korona yang mampu merubah otak dan kesadaran manusia," kata dia.

Data yang pernah dicatat olehnya, bahwa sektor sekunder (industri pengolahan) di Bali sangat padat karya.

Update Covid-19 di Bali - Positif Bertambah 63 Orang, Sembuh Bertambah 54 Orang, Meninggal 1 Orang

Ternyata Otak Penembakan di Kelapa Gading Seorang Wanita, NL Ngaku Sakit Hati

Hilang Kendali saat Bareng Kekasih, Kadek Yuki Hembuskan Nafas Terakhir di Jalan Raya Kediri Tuban

Pertumbuhannya padahal hanya 2,5 persen, tetapi dapat menyerap peningkatan tenaga kerja sebesar 13 persen.

Pada saat yang sama, situasi ini berbanding terbalik dengan sektor tersier (pariwisata) bertumbuh mencapai 37 persen, tetapi serapan tenaga kerjanya meningkat hanya 15 persen.

Sementara itu, sektor primer (pertanian), yang pertumbuhannya turun 39 persen, tetapi tenaga kerja yang diserap hanya menurun 28 persen.

Padahal, investasi yang berkembang lebih dari 95 persen berada di sektor tersier..

"Itu bermakna bahwa kalau ingin melakukan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan, maka pembangunan harus dilakukan di sektor pertanian dan pengolahan hasil-hasil pertanian," tuturnya.

Windia mengatakan, sudah menjadi rahasia umum di dunia, bahwa tidak banyak pemimpin yang ingin berkecimpung dalam pembangunan sektor pertanian.

Hal ini disebabkan oleh banyak alasan, terutama karena alasan-alasan politis.

Dirancang dengan Perhitungan Realistis, Giri Prasta Jelaskan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2020 

KEMBALI2020: Satukan Ubud Writers Festival dan Ubud Food Festival

Update Covid-19 di Denpasar - 9 Orang Sembuh, Kasus Positif Bertambah 10 Orang

"Kita tidak anti pertumbuhan ekonomi. Tetapi sebaiknya pertumbuhan itu dilakukan via pemerataan, yakni via pembangunan pertanian dan pengolahan hasil-hasilnya," kata dia.

Windia menilai, pertumbuhan ekonomi yang dilakukan sebenarnya tidak harus melalui perusakan lingkungan seperti yang terjadi saat ini sebagai dampak pembangunan yang tumbuh “liar” untuk melayani pariwisata massal.

"Aduh, Bali sudah babak belur karenanya. Begitu merebak virus korona, maka mendadak sontak perekonomian Bali terkontraksi 1 persen dalam kwartal pertama dan kemudian terkontraksi lebih dalam lagi yakni 10 persen dalam kwartal kedua," tuturnya.

"Kaum ekonom mengatakan bahwa, kalau dua kwartal sudah terkontraksi, maka hal itu sudah berarti resesi. Inilah hasil dari kebijakan yang “mendewakan” sektor tersier, tanpa memperhatikan sektor primer dan sekunder," imbuhnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved