Puluhan Hektar Lahan Warga Indonesia di Pulau Sebatik Jadi Wilayah Malaysia, Begini Awal Mulanya

Warga di pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan merasa dirugikan setelah lahan perkebunan dan persawahan milik mereka masuk dalam wilayah Malaysia.

Editor: Ady Sucipto
Dok Wikipedia
Pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan Malaysia 

TRIBUN-BALI.COM, NUNUKAN, – Warga di pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan merasa dirugikan setelah lahan perkebunan dan persawahan milik mereka masuk dalam wilayah Malaysia. 

Pasalnya puluhan hektar perkebunan dan persawahan milik warga masuk wilayah Malaysia

Persoalan itu terungkap setelah pengukuran ulang patok batas negara oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama Jabatan Ukur dan Pemetaan (JUPEM) Malaysia pada Juni 2019. 

"Ada sekitar 44 warga yang mengaku dirugikan karena sebagian lahan mereka masuk Malaysia," ujar Kepala Desa Seberang, Kecamatan Sebatik Utara, Hambali, saat dihubungi, Jumat (4/9/2020).

Menurut Hambali, ada sekitar 2,16 km lahan yang ada di desa Seberang dinyatakan masuk Malaysia akibat pergeseran patok batas Negara.

Sudah banyak masyarakat mengadukan persoalan tersebut ke Kantor Desa mempertanyakan terkait ganti rugi dan status sertifikat tanah yang mereka miliki.

"Sebagian besar warga ada kepemilikan sertifikat, data kita sekitar 44 orang, mereka menggarap lahan, berkebun dan bertani di sana sejak lama," katanya.

Sempat Cekcok dengan Warga Malaysia

Adanya pergeseran patok dan masuknya sebagian lahan masyarakat ke Malaysia sempat memicu keributan.

Pasalnya, masyarakat Malaysia sudah berusaha menggarap lahan yang diyakini masuk wilayah mereka.

Mereka bahkan bersikeras hendak mengambil hasil kebun atau sawah di lahan tersebut, sehingga memicu perdebatan sengit dengan sejumlah warga pemilik lahan.

"Kita mediasi, karena ini belum ada diresmikan dan belum dipastikan. Saya sampaikan itu (mengambil dan menguasai lahan) tidak bisa, kecuali antar dua negara sudah sepakat. Jadi sementara ini silahkan digarap masing masing seperti biasa sampai ada kejelasan," kata Hambali.

Sejak kejadian tersebut masyarakat mendesak Kepala desa memperjelas status kepemilikan sertifikat tanah mereka.

Namun, langkah tersebut terkendala karena Pemerintah kabupaten Nunukan atau Biro Perbatasan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara mengaku belum bisa bersikap karena masih menunggu informasi pemerintah pusat.

"Ini ranahnya tim pusat, kami tidak bisa memberi keterangan.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved