Kerap Dianggap Tenget, Penyuluh Bahasa Bali Minta Masyarakat Jangan Takut pada Lontar
Kesan sakral sebuah lontar atau pengetahuan zaman dulu yang ditulis dalam aksara Bali pada sebuah daun atau bambu, kerap diartikan berlebihan oleh mas
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Kesan sakral sebuah lontar atau pengetahuan zaman dulu yang ditulis dalam aksara Bali pada sebuah daun atau bambu, kerap diartikan berlebihan oleh masyarakat.
Karena itu, tidak jarang lontar peninggalan leluhur pada zaman dulu, saat ini kondisinya rusak karena tak terawat.
Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kecamatan Blahbatuh, Ni Wayan Miani, Kamis (1/10/2020) mengatakan, tugasnya saat ini tidak hanya melakukan perawatan terhadap lontar-lontar di masyarakat.
Lebih dari itu, pihaknya juga mengedukasi masyarakat agar mau merawat lontar peninggalan leluhurnya.
• Dilarang Polisi, Sekelompok Massa Tetap Hadir ke Kawasan PN Denpasar Tuntut Pembebasan Jerinx SID
• Terjaring Razia, Anggota DPRD Gianyar Ngaku Tak Tahu dalam Mobil Harus Pakai Masker, Etty:Siap Salah
• Perbandingan Oppo A33 dan Oppo A53, Spesifikasi Lengkap, Harga Mulai Rp 2 Jutaan
"Di Blahbatuh sendiri cukup banyak yang memiliki lontar tapi terkendala masih kurang pemahaman dari pewaris lontar itu. Banyak yang menganggap tenget (sakral) sehingga akhirnya rusak dimakan rayap,” jelasnya.
Paradigma tenget ini, kata dia, selain menyebabkan banyak lontar rusak tak terawat. Hal ini juga mengakibatkan pihaknya kesulitan dalam melakukan konservasi.
Kata dia, lontar tersebut ibaratnya seperti buku yang berisikan aksara dan memang harus dirawat untuk dipelajari. Lontar bukanlah sebuah pajangan.
• Seorang Pramugari Ungkap Tips Aman di Pesawat dan Hotel Selama Pandemi Covid-19
• 3 Artefak Paling Langka yang Hingga Kini Asal-usulnya Masih Misterius
• Ikut Bantu Sembuhkan Pasien Covid-19, TNI Kerja Keras ke Desa Cari Pendonor Konvalesen
“Lontar adalah ilmu pengetahuan. Tenget tidaknya, sekarang tergantung bagaimana kita mengimplementasikan pengetahuan itu. Tugas kami di sini untuk merawat lontar yang ada. Bukan hanya dipajang atau diletakkan begitu saja di tempatnya. Karena jika tidak dibuka dan dirawat lama kelamaan akan habis dimakan rayap,” tandasnya.
Miani menyampaikan khusus di Blahbatuh terdapat banyak lontar, dan pemiliknya hanya mendiamkan saja.
Lantaran masih dianggap tenget, sehingga rusak dan kondisinya berhamburan di tempatnya.
Ketika itu diizinkan untuk dirawat dan dikonservasi oleh pemiliknya, ia dan penyuluh yang lainnya memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengelompokkan lontar tersebut.
• Seorang Pramugari Ungkap Tips Aman di Pesawat dan Hotel Selama Pandemi Covid-19
• Produksi Padi di Denpasar hingga Agustus 2020 Menurun 2.637 Ton
Bahkan untuk mengidentifikasi satu buah lontar saja, ia bisa menghabiskan waktu 30 menit.
“Untuk konservasi itu satu cakep lontar memerlukan 30 menit, yang lama itu adalah mengindentifikasi lontar tersebut. Sesuai pendataan lontar di wilayah Blahbatuh itu rata-rata tentang usadha,” ucapnya. (*)
