Kisruh Tanah Adat di Bandara Bali Utara, Bendesa Laporkan Satu Warganya Ini ke Polisi

Rencana pembangunan bandara di wilayah Desa/Kecamatan Kubutambahan Buleleng, kisruh.

Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani
Baliho yang dipasang sejumlah warga di depan Balai Banjar Adat Kubuanyar, Buleleng, Bali, Minggu (11/10/2020). 

TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Rencana pembangunan bandara Bali Utara di wilayah Desa/Kecamatan Kubutambahan Buleleng, kisruh.

Status lahan kini menjadi perdebatan antara warga.

Beberapa kelompok masyarakat menyebut jika pihaknya lebih setuju apabila lahan seluas 370 hektar milik duwe pura yang saat ini masih dikontrakkan kepada PT Pinang Propertindo agar dijual saja kepada pemerintah sehingga menjadi status milik negara.

Hal ini tentu bertentangan dengan keinginan Klian Desa Adat Kubutambahan, Jro Pasek Warkadea bersama warga lain, yang ingin mempertahankan agar status tanah tetap menjadi milik desa adat setempat.

Perwakilan Warga, Sujana Budi ditemui Minggu (11/10/2020) mengatakan, lahan seluas 370 hektar itu dikontrakan kepada PT Pinang Propertindo selama 30 tahun terhitung sejak 1991 sampai 2026, dan bisa diperpanjang tanpa batas waktu.

Informasi yang dianggap valid itu diterima oleh pihaknya dari berbagai instansi.

Dengan demikian, masyarakat pun menilai bahwa saat ini tanah duwe pura sejatinya sudah tidak ada, karena tidak memiliki hak untuk mengelola.

“Yang ada tinggal SHM (Sertifikat Hak Milik) yang selalu dibangga-banggakan. Artinya kami sekarang hanya punya legalitas sertifikat, namun hak pengelolaannya sudah tidak ada. Sesungguhnya tidak ada kontrak dengan tanpa batas waktu, itu sebenarnya cacat hukum. Namun investor yang dihadapi ini kan hebat, desa adat tidak akan bisa melawan,” ucapnya.

Kementerian Perhubungan Kaji Angkutan Masal dari Denpasar ke Bali Utara

Pengusaha Dorong Bali Segera Bangun Bandara Bali Utara

Belum Siap New Normal, Pengusaha Dorong Bangun Bandara Bali Utara Untuk Selamatkan Pariwisata Bali

Dengan dikontrakannya lahan duwe pura tersebut, pemerintah pun hingga saat ini kesulitan untuk membangun bandara di wilayah tersebut.

Sehingga sejumlah masyarakat sebut Sujana Budi sepakat agar lahan tersebut dijual saja kepada pemerintah, sehingga bandara yang selama ini diidam-idamkan oleh masyarakat setempat dapat segera terealisasi.

Hal ini juga sejalan dengan opsi yang diberikan oleh pemerintah pusat saat melaksanakan paruman secara tertutup pada Selasa (6/10) lalu di Pura Desa Adat Kubutambahan.

Dari paruman yang dipimpin oleh Wakil Bupati Nyoman Sutjidra itu, kata Sujana Budi, pemerintah menawarkan agar tanah duwe pura dibeli senilai Rp 50 Miliar, dan uangnya akan dititipkan di Pengadilan.

“Kalau tanah sudah dibeli oleh pemerintah, investor tidak akan bisa menuntut.

Namun sayangnya saat paruman dia (Jro Warkadea,red) tidak hadir dan tidak mau menandatangani kesepakatan tersebut.

Sehingga kami berpikir dia lebih memikirkan kepentingan pribadi.

Bila perlu mari lakukan voting, dan laksanakan paruman agung. Bicara dengan jujur kepada masyarakat bahwa tanah duwe pura itu sudah tidak ada.

Omong kosong kalau masih ada. Masyarakat adat saat ini sudah semakin tau bahwa desa adat sudah tidak punya tanah,” terangnya.

Bila saja lahan duwe pura itu dijual kepada pemerintah, Sujana Budi menilai desa adat akan lebih bisa mendapatkan keuntungan.

Sebab, masyarakat bisa meminta kembali agar tanah tersebut dapat dihibahkan kembali kepada desa adat, sementara bandara juga tetap bisa dibangun.

“Masyarakat jangan takut kehilangan tanah, kita bisa minta agar dihibahkan kembali bila urusan sudah selesai. Kita bisa usul ke Pemprov agar dibuatkan akta notariat. Dengan begitu masalah selesai, investor pun mati. Sementara kalau menolak, tanah desa adat sudah hilang, bandara pun kita tidak punya,” katanya.

Tak hanya itu, Sujana juga menuding jika sang klian adat yang ia sebut berinisial JP telah menandatangani persetujuan agar investor PT Pinang Propertindo mendapatkan kredit dari beberapa bank sebesar Rp 1.4 Triliun, dengan mengagunkan sertifikat HGB dari lahan duwe pura.

“JP datang ke salah satu hotel tanda-tangan hak tanggungan Rp 1.4 Triliun. Saya heran, katanya tanah itu tidak boleh dijual, tapi kalau dipakai ngutang boleh. Sementara jual tanah biar dapat uang tidak boleh.

Sehingga muncul indikasi dia mau jadi pahlawan tidak mau menjual tanah, tapi kalau buat utang untuk orang lain boleh. Dia takut menyetujui keinginan pemerintah, karena investor itu nanti bisa bernyanyi apa-apa saja yang sudah diberikan, dan citranya akan jatuh,” ujarnya.

Atas hal tersebut Sujana Budi bersama sejumlah warga pun memutuskan untuk memasang sejumlah baliho, masing-masing di depan Balai Banjar Adat Kubuanyar, dan di areal parkir Pura Maduwe Karang Kubutambahan.

Pada baliho tersebut bertuliskan jika JP telah memberikan hadiah utang Rp 1.4 Miliar kepada Ida Betara Ratu Pingit, serta Penghulu Desa Adat telah berbohong kepada warga masyarakat adat Kubutambahan.

Tak terima dengan tudingan-tudingan tersebut, Klian Desa Adat Kubutambahan Jro Pasek Warkadea terpantau mendatangi Mapolres Buleleng, pada Minggu siang.

Ia datang untuk melaporkan Sujana Budi karena dinilai telah melakukan pencemaran nama baik.

Ditemui seusai memberikan laporan di Polres, Jero Warkadea mengatakan, sebaiknya masyarakat utamanya Sujana Budi melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada dirinya, menyebarkan isu yang belum diketahui kebenarannya.

Bahkan Warkadea menyebut, sejak isu pembangunan bandara ini mencuat, dirinya sudah berulang kali menegaskan bahwa status lahan duwe pura tidak akan akan pernah dilepas.

Hal ini merupakan keinginan dan kesepakatan para penyungsung pura, klian subak, jero mangku, dan pecalang.

“Masalah bandara akan dibangun di Kubutambahan, kami tidak menolak. Kami sepakat dan setuju dibangun di tanah duwe pura. Tapi ada skema baru, status tanah harus dilepas, atau diganti (tukar guling,red). Kalau diganti dengan uang artinya kan jual beli.

Kami tidak ada kapasitas untuk menjual atau melepas status tanah jadi milik negara. Kalau tukar guling, sejarah tanah duwe pura itu akan hilang. Saya hanya menjalankan amanat dan awag-awig.

Lebih baik lakukan dengan sewa menyewa selama-lamanya. Boleh bandara dibangun, tapi status tanah jangan dirubah. Desa adat bisa dapat kontirbusi dari badara itu mungkin dalam bentuk csr” jelasnya.

Warkadea juga menjelaskan ihwal dirinya tidak menghadiri paruman yang diselenggarakan pada Selasa (6/10), karena dalam keadaan sakit.

“Saat hendak melaksanakan paruman itu, saya sudah minta jangan dulu dilaksanakan karena saya sedang sakit. Namun akhirnya rapat itu tetap dilaksanakan.

Sehingga saya tidak bisa memberikan keputusan. Kemudian muncul lah petisi yang dibuat oleh dia (Sujana Budi,red), dengan cara-cara seperti ini. Menyebarkan kebohongan,” terangnya.

Bagaimana dengan tudingan bahwa investor PT Pinang Propertindo mendapatkan kredit dari beberapa bank sebesar Rp 1.4 Triliun atas persetujuan Warkadea?

“Dari sewa menyewa tanah ini, dampaknya pemberian hak dari desa adat kepada PT Pinang Propertindo, namanya sertifikat HGB.

Kewajiban PT Pinang membuat Sertifikat Hak Milik (SHM), dan sudah diserahkan kepada kami ada 61 sertifikat HGB dan 61 SHM.

Investor dalam perjanjiannya boleh menjaminkan HGBnya untuk mencari kredit, dan saya tidak tahu menahu. Boleh dicek di notaris. Itu kan utang investor, kok saya dianggap melakukan persetujuan. Demi tuhan saya tidak ada pernah melakukan persetujuan,” tutupnya. (rtu)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved