3 Mantan Pejabat Jiwasraya Divonis Penjara Seumur Hidup, Ketiganya Ajukan Banding

Perihal kerugian negara dari BPK itu potensi atau unrealize loss senilai Rp 16,8 triliun. Artinya, kerugian negara belum bersifat nyata

Editor: Kambali
ANTARA FOTO/DHEMAS REVIYANTO
Mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung Jampidsus Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (14/1/2020). 

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Tiga mantan pejabat PT Asuransi Jiwasraya divonis penjara seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (12/10).

Tak terima atas keputusan itu, ketiganya akan segera mengajukan banding. 

Mereka adalah mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, eks Direktur Keuangan Jiwasraya Harry Prasetyo dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan. 

Kuasa Hukum Hary Prasetyo, Ruadianto Manurung menyatakan, akan segera mengajukan banding walaupun ia tidak menjelaskan alasan keberatan kliennya atas keputusan majelis hakim.

"Kami akan mengajukan banding secepatnya," kata Rudianto, Selasa (13/10/2020). 

Baca juga: Mantan Dirut Jiwasraya Hendrisman Rahim Dituntut 20 Tahun Penjara

Seperti diketahui, mantan Tenaga Ahli Kedeputian III bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di Kantor Staf Presiden (KSP) itu diputus bersalah dan dihukum penjara seumur hidup oleh majelis hakim atau sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). 

Selain Harry, Syahmirwan juga akan menempuh banding karena keberatan atas keputusan pengadilan Tipikor.

Yang pertama, putusan yang dijatuhkan majelis hakim dinilai tidak mengadopsi fakta hukum persidangan terkait perhitungan kerugian negara. 

Penasihat hukum Syahmirwan, Suminto Pujiharjo menyebut, Putusan MK Nomor 25/2016 terkait pencabutan frasa dapat dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal (3), menjelaskan, bahwa perhitungan kerugian negara seharusnya bukan berdasarkan potensi tapi bersifat nyata dan pasti. Namun ketentuan itu, tidak masuk dalam pertimbangan majelis hakim.  

"Perihal kerugian negara dari BPK itu potensi atau unrealize loss senilai Rp 16,8 triliun. Artinya, kerugian negara belum bersifat nyata dan masih potensi termasuk dalam pembelian saham baik secara langsung maupun melalui reksadana, jumlahnya masih sama walaupun nilainya turun," jelas dia. 

Baca juga: 3 Perkara Besar di Kejaksaan Agung yang Jadi Sorotan Saat Ini, Kasus Jiwasraya dan Jaksa Pinangki

Selanjutnya, majelis hakim dinilai tidak mempertimbangkan alasan direksi dan kepala investasi memilih saham - saham second liner ketimbang blue chip.

Padahal penentuan itu berdasarkan kondisi keuangan perusahaan yang mencatatkan insolven Rp 6,7 triliun pada 2008. 

"Untuk mencapai target RKAP, tidak mungkin berinvestasi ke saham-saham blue chip, yang memungkinkan ke saham-saham second liner. Apalagi dalam penyusunan RKAP ini juga telah disetujui pemegang saham dan target juga sudah dipatok," jelasnya. 

Baca juga: Kejagung Ungkap Peran 13 Manajer Investasi di Skandal Korupsi Jiwasraya, Beli Saham Hasil Gorengan

Senada, pihak Hedrisman justru menyebut hakim pura-pura tidak melihat adanya kerugian akibat insolven sampai tahun 2008 sebesar Rp 6,7 triliun.

Kuasa hukum Hendrisman, Maqdir Ismail menyatakan, jika ada  kerugian akibat pembelian saham BJBR, mestinya pihak Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten diminta pertanggungjawaban dalam pengelolaan BUMD.

Sumber: Kontan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved