Ngopi Santai
Menyamar sebagai Keluarga Nabunome
Pesan klasik para guru jurnalistik saya, Valens Goa Doy, Damyan Godho, Julius R Siyaranamual, Marcel Weter Gobang sama dan sebangun.
Penulis: DionDBPutra | Editor: Ady Sucipto
Sangar dan tanpa kompromi. Kalau ente nekat bisa kena bogem dan tanpa proses hukum. Pokoknya jangan
cari masalah deh.
Justru itu masalah bagi saya. Atlet andalan Indonesia Eduardus Nabunome atau karib disapa Edu baru saja meraih medali emas nomor lari maraton.
Edu memang sudah memberi keterangan kepada wartawan di Stadion Madya Senayan. Tapi itu pernyataan normatif dan standar. Sementara saya menguber wawancara eksklusif.
Pesan para editor di newsroom bersama Persda adalah berita kita harus punya diferensiasi.
Bukan nongkrong di press center mengutip data hasil lomba dan pertandingan.
Karya jurnalistik semacam ini garing.
Tak menarik apalagi olahraga yang mengekspresikan manusia dan seluruh dimensinya kemanusiannya.
Nilai lebih berita spesial hanya mungkin diperoleh manakala jurnalis berada di gelanggang dan wawancara eksklusif atlet juara ataupun yang gagal.
Problemnya, wartawan dilarang masuk Century Park. Bagaimana caranya?
Saya lekas putar otak. Berlari-lari kecil mengejar Edu bersama lima orang lainnya termasuk ofisial yang hendak kembali ke Hotel Century Park, cuma selemparan batu dari Stadion Madya Senayan.
Saya pepet Edu lalu bisik di telinganya pakai bahasa melayu Kupang. Ya kami sebaya, usia Bung Edu hanya lebih tua setahun dari saya.
“Bu (Bung), beta mesti wawancara khusus Bu nih. Bisa ko beta ikut pi dalam hotel sekarang sebagai keluarga untuk doa syukur atas keberhasilan Bu tadi.”
Bung Edu ngakak lalu menganggukkan kepala.
Atlet cerdas ini sudah mengerti maksud saya. Maka rompi, tas pinggang, kamera, tape recoder dan lain-lain saya sembunyikan dalam tas plastik warna hitam legam.
Jangan dikau bayangkan saya punya ransel bagus. Dalam situasi darurat tak ada rotan akar pun jadilah.