Wayan Gendo: Ahli Pidana dan Bahasa Untungkan Jerinx
Tim hukum yang dikoordinir oleh I Wayan "Gendo" Suardana menghadirkan ahli bahasa, Made Jiwa Atmaja dan ahli pidana, Hery Firmansyah
Penulis: Putu Candra | Editor: Aloisius H Manggol
Absulut individu.
Kehormatan individu. Bukan kehormatan lembaga.
"Jadi kalau yang mengadukan sebagai korban pencemaran nama baik adalah IDI sebagai lembaga, itu tidak memenuhi kualifikasi sebagai korban. Sehingga menurut saya keterangan ahli pidana jelas Pasal 27 nya gugur," katanya.
Sedangkan dalam konteks Pasal 28 pun begitu kata Gendo. Ada norma pokok di Pasal 156, 157 KUHP. Maka disana disebutkannya ada batasan unsur Antargolongan.
"Ahli tadi menjelaskan, bahwa unsur antargolongan harus ada dua atau lebih golongan yang terlibat di sini. Tidak boleh individu versus golongan, tapi harus ada dua golongan.
Makanya makna SARA itu adalah Suku, Agama, Ras dan Antargolongan. Antargolongan tanpa spasi. Maka harus ada dua atau lebih golongan yang kemudian timbul kebenciannya atas postingan Jerinx atau yang berkonflik," terang Gendo.
"Karena tidak ada dua golongan atau lebih. Maka sebetulnya kualifikasi atau unsur Antargolongan gugur. Jika mengacu pada putusan Mahkamah Konsitusi, ahli mengatakan, ini bertentangan dengan asas legalitas. Sehingga dia gugur," lanjutnya.
Selain pendapat ahli hukum, pendapat ahli bahasa kata Gendo juga sangat menguntungkan terkait pembahasan menukik pada soal bahasa dan sastra. Tidak hanya bentuk.
"Ahli bahasa tadi mengulas soal kata itu ada bentuk, akustik dan kemudian komponen mental. Kalau ahli bahasa sebelumnya hanya mengulas bentuk. Misalnya kata "menyerang" makna leksikal menurut KBBI. Itu tidak cukup. Dan ahli tadi menjelaskan harus dicari komponen mentalnya atau niatnya. Apakah niatnya menghina atau membenci," paparnya.
Untuk menguji itu lanjut Gendo, konteksnya dicari dengan diksi. Kemudian pemilihan diksi yang digunakan harus diuji.
"Diuji dengan apa pendapat si pengujar atau pembuat. Apa pendapat komunitasnya. Apakah benar itu kebiasaannya si pembuat, karena seorang seniman.
Kemudian itu sesuatu yang diamini oleh seluruh ahli-ahli bahasa internasional. Biasa itu penyimpangan makna. Misalnya kata menyerang artinya belum tentu menyerang, tapi mempertanyakan,"
Pula kata Gendo, di persidangan ahli bahasa mencontohkan penyimpangan makna bukan hanya dilakukan oleh seniman.
Tapi juga oleh jurnalis dalam menulis.
"Misalnya, pungkas gubernur. Padahal kata pungkas itu di KBBI artinya membantah. Harusnya gubernur membantah, baru pungkas gubernur. Tapi kadang-kadang pungkas dipakai penutup. Ahli bahasa sampai membedah konsep itu," tuturnya.
"Sehingga sampai pada kesimpulan dengan penjelasan jerinx, penjelasan teman-temannya itu tidak terpenuhi niat jahatnya," tegas Gendo. (*)