Human Interest Story
Kisah Hidup IGN Jayanegara, Jadi Tukang Catat Meteran Listrik Hingga Wakil Wali Kota Denpasar
Sejak muda era tahun 80-an, Jayanegara telah sering dilibatkan oleh ayahnya dalam dunia kepartaian yakni di Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dicalonka
Penulis: Ragil Armando | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Siapa yang tidak kenal I Gusti Ngurah Jayanegara, S.E., hampir semua warga Kota Denpasar mengenal dia sebagai salah satu pemimpin di ibukota Provinsi Bali.
Sosok pria yang akrab disapa Gung Jaya atau Turah Jayanegara ini dikenal sebagai orang nomor dua di Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar alias Wakil Wali Kota Denpasar.
Tapi tidak banyak mengetahui bahwa walapun berasal dari keluarga ningrat tapi sosoknya ini ternyata pernah mengalami kerasnya kehidupan.
Lahir dengan nama I Gusti Ngurah Jayanegarara ini lahir dari sebuah keluarga sederhana dari Puri Penatih, Denpasar 4 Juli 1966, ayahnya sendiri berprofesi sebagai seorang guru dan ibunya sebagai ibu rumah tangga.
Baca juga: Wawali Jaya Negara Ngayah Mundut Ida Bhatara Sesuhunan di Pura Lombok Kepisah
Baca juga: Persiapan Pemulihan Pariwisata Lokal, Jaya Negara Serahkan Bantuan Baju
IGN Jayanegara menyebut bahwa masa kecilnya tidak berbeda dengan banyak orang lain di Denpasar, bahkan menurutnya sangat melarat.
Ia sendiri sempat berjualan es lilin di masa kecilnya medio 1970-an saat masih bersekolah di SDN 1 Penatih yang letaknya tidak jauh dari rumahnya.
Gung Jaya saat itu berjualan es lilin sepulang sekolah bersama sang adik kandungnya IGA Bintang Darmawati alias Bintang Puspayoga (yang kini menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Meneg PP & PA), keduanya menjajakan es lilin tersebut keliling dari kampung ke kampung di sekitar Penatih hingga daerah Peguyangan Kangin.
Sepasang kaki mungilnya silih berganti menapaki langkah di seputaran kampung, sembari berharap ada yang membeli es jualannya.
Manakala es lilin tersebut ludes terjual terbitlah rasa senang dalam dirinya.
Namun jika dagangan itu masih tersisa, ia tidak merasa kecewa.
Melainkan ia menerimanya dengan hati lapang. Sebab ia memang tidak memiliki target tertentu dalam menjalankan pekerjaannya.
Menariknya, saat panen raya tiba, ia bersama sang adik ikut juga membantu petani memanen padi dengan upah sisa-sisa gabah yang dibawa pulang untuk di masak sang ibu menjadi makanan bersama keluarga.
“Saya sebenarnya dari kecil itu hidupnya sangat melarat sekali, saya dengan adik saya Ibu Bintang yang sekarang jadi Menteri itu, kalau sekolah saya jualan es lilin keliling kampung, kalau sore kalau ada waktu saya sama dia ada ikut panen ke sawah, orang panen kita nyari sisa-sisa,” kata dia saat wawancara khusus Tribun Bali dengan Wakil Wali Kota Denpasar, IGN Jayanegara di kediamannya, Senin (26/10/2020).
Saat memasuki SMP Dwijendra pada medio 1980-an, ia juga sempat membantu ayahnya menjadi kernet bemo.
Ayahnya sendiri saat itu sudah tidak menjadi guru lagi akibat “dipaksa” keluar pada awal 1971. Saat itu para pegawai negeri diharuskan untuk menjadi kader parpol tertentu dari penguasa.