Human Interest Story
Kisah Hidup IGN Jayanegara, Jadi Tukang Catat Meteran Listrik Hingga Wakil Wali Kota Denpasar
Sejak muda era tahun 80-an, Jayanegara telah sering dilibatkan oleh ayahnya dalam dunia kepartaian yakni di Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dicalonka
Penulis: Ragil Armando | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Ayahnya saat itu memilih setia dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan memutuskan keluar dari posisinya sebagai guru sekolah.
Walaupun sekolah sembari bekerja, prestasi Gung Jaya terus meningkat di sekolah. Ini terbukti di tahun 1982, ia tamat dari SMP Dwijendra.
Namun, saat itu ia sempat ragu akan melanjutkannya ke jenjang SMA. Pasalnya, kondisi ekonomi keluarganya dirasa kurang memungkinkan untuk menanggung beban biaya pendidikannya.
Namun berkat dorongan kuat dari Sang Ayah, Gusti Ngurah Jaya mantap untuk masuk ke sekolah favorit di Kota Denpasar yakni SMA Negeri 1 Denpasar atau yang lebih dikenal sebagai SMANSA.
Saat bersekolah di SMANSA, ia juga sempat menjadi tukang catat meteran listrik PLN dengan berkeliling dari satu rumah ke rumah di Kota Denpasar untuk menambah uang saku dan membayar SPP.
“Waktu SMP saya malah jadi kernet bemo, bapak punya mobil datsun, SMA juga saya masih keliling jadi tukang catat meteran listrik,” paparnya.
Setamatnya dari pendidikan di SMA Negeri 1 Denpasar pada 1985, ia kembali dilanda dilema. Ia tidak ingin membebani kedua orangtuanya dengan biaya kuliah yang terbilang tidak sedikit jumlahnya, apalagi ayahnya saat itu sedang sakit.
Namun kembali Sang Ayah meyakinkan dirinya. Ayahnya yang sangat dicintai tersebut bersedia mendukung pendidikannya hingga Gusti Jayanegara berhasil meraih gelar sarjana.
Berkat dukungan dari Sang Ayah itulah, Gusti Jaya Negara akhirnya yakin dan percaya diri melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Keuangan Universitas Pendidikan Nasional alias Undiknas yang ia tamatkan dengan menggondol gelar Sarjana Ekonomi pada tahun 1991 dan langsung bekerja sebagai bankir di sebuah bank swasta di Denpasar.
“Tamat sekolah saya nggak mau kuliah, karena bapak sakit, bapak memaksa saya kuliah akhirnya saya kuliah, setelah kuliah tamat, karena bapak politisi seorang PNI tulen sampai berhenti jadi kepala sekolah demi menjalankan idealismenya itu,” paparnya.
Namun, sebagaimana prinsip hidupnya yang menjalani hidup dengan mengalir dan tidak neko-neko. Nasib mujur berpihak padanya saat peralihan dari Orde Baru ke Reformasi.
Saat itu, bank tempat ia bekerja bangkrut sehingga ia harus berhenti sebagai seorang bankir. Di saat itu lah, ia yang memang sejak muda era tahun 80-an, Gung Jaya telah sering dilibatkan oleh ayahnya dalam dunia kepartaian yakni di Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dicalonkan sebagai Calon Anggota DPRD Kota Denpasar dari PDI Perjuangan (evolusi PDI di masa reformasi) dan terpilih duduk di kursi dewan.
“Lulus kuliah akhirnya saya bekerja di sebuah bank, tahu-tahu banknya macet saat 98, karena reformasi, ya saat itu bapak saya punya link politik dekat dengan Ida Cokorda Sayoga bapaknya Ajung Puspayoga yang saat itu ketua DPC saya masuk menjadi salah satu anggota dewan,” katanya.
Tidak pernah terbesit dalam pemikirannya ia akan duduk sebagai orang yang cukup berpengaruh. Dalam benaknya hanya ada keinginan untuk menjalani masa kini dengan sebaik-baiknya dan membiarkan hari esok menjadi sebuah misteri yang tak dapat diganggu gugat.
Sehingga apapun yang terjadi terhadap dirinya di masa depan adalah sebuah tabir yang menjadi urusan Tuhan Yang Maha Kuasa.