Nyanyian Suci, Ini Bahaya Menyanyikan Dharmagita Sembarangan
Dharmagita adalah suatu nyanyian kebenaran, nyanyian keadilan, yang dinyanyikan dalam pelaksanaan upacara agama Hindu.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Dharmagita adalah suatu nyanyian kebenaran, nyanyian keadilan, yang dinyanyikan dalam pelaksanaan upacara agama Hindu.
“Dharmagita sangat berperan dalam kegiatan upacara agama, sebagai pencurahan perasaan bakti dan pembimbing konsentrasi pikiran menuju suatu kebenaran,” jelas Koordinator Prodi Magister Kajian Budaya FIB Unud, I Nyoman Suarka, kepada Tribun Bali, Kamis (29/10/2020).
Dosen yang juga kerap menjadi juri lomba dharmagita ini, mengatakan bahwa tidak boleh sembarangan dalam mempelajari dan menyanyikan dharmagita.
“Hal itu disebabkan karena Dharmagita, mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup, serta pelukisan kebesaran Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya,” tegasnya. Dharmagita semestinya, kata dia, dinyanyikan sesuai situasi dan kondisi yang mencerminkan etika karena merupakan teks suci.
Baca juga: Kasus Kebakaran Gedung Kejagung Akibat Puntung Rokok, Polisi Belum Tahan 8 Tersangka Karena Ini
Baca juga: Jet Tempur AS Cegat Pesawat Kecil yang Melintas di Atas Lokasi Kampanye Donald Trump
Baca juga: Tersinggung Komentar di Facebook, Tokoh Masyarakat Desa Adat Gelgel Laporkan Seorang Warga ke Polsek
“Nah dalam keyakinan umat Hindu, teks suci tidak etis jika dinyanyikan sembarangan. Memang ada tradisi yang melarang menyanyikan dharmagita sembarangan, terutama saat di perjalanan naik motor karena dapat menimbulkan hal tidak diinginkan,” sebutnya.
Ia menjelaskan, hal tersebut seperti kecelakaan dan kesialan lainnya. Sehingga semua tembang dharmagita seharusnya dinyanyikan pada saat hari raya suci Hindu.
Namun ia menegaskan, tak masalah jika dharmagita dinyanyikan untuk belajar sebab tujuannya demi kebaikan dan kebenaran.
Sebab makna dharmagita yang lain adalah cinta kasih tulus umat Hindu ke Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
“Dharmagita juga salah satu cara untuk mendalami ajaran agama Hindu,” katanya.
Menyanyikan tembang-tembang dharmagita inilah, sebagai cara umat Hindu mendekatkan diri kepada Tuhan melalui keindahan sastra tembang.
Ada beberapa jenis teks yang digolongkan ke dalam Dharmagita.
Ia menyebutkan, diantaranya sloka dan sruti.
“Dalam tradisi Bali, umumnya sloka dibedakan dengan sruti. Sloka biasanya terdiri atas empat baris dalam satu padartha, dengan jumlah suku kata yang sama pada setiap baris. Sebaliknya, sruti mempunyai jumlah baris dan jumlah suku kata tidak tetap, dalam satu padartha.
Lalu palawakya, yang jenis teks palawakya menggunakan bahasa Jawa Kuna dan berbetuk prosa. Dalam membaca dan melagukan palawakya, sangat tergantung kepada tabuh bhasa (intonasi) serta ketepatan onek-onekan (pengejaan dan pemenggalan kata-kata).
Kakawin (sekar ageng), kata dia, merupakan syair Jawa Kuna yang digubah berdasarkan aturan metrum India.
Kakawin diikat aturan guru-laghu (matra), jumlah baris dan jumlah suku kata (wretta) dalam setiap bait (pada).
“Guru adalah suku kata panjang (dilagukan panjang/berat). Laghu adalah suku kata pendek (dilagukan pendek/ringan),” jelasnya.
Kedudukan guru-laghu dalam kakawin dapat dianalogikan dengan kedudukan guru-murid atau orang tua (leluhur) dengan anak-anak (keturunan).
“Sebagaimana dijelaskan dalam Kakawin Nitisastra bahwa “tingkahning suta manuteng bapa gawenya”, artinya perilaku anak akan mengikuti jejak orang tua, maka dapat dikatakan bahwa tinggi rendah nada laghu, akan mengikuti tinggi-rendahnya nada guru yang ada di depannya,” ujar Nyoman Suarka.
Kidung (sekar madia), juga bagian dari dharmagita. Kidung ditinjau dari metrum yang digunakan, dapat dibedakan atas kidung yang menggunakan metrum macapat, dan kidung yang menggunakan metrum tengahan.
Pada prinsipnya syair kidung, juga diikat jumlah suku kata dan bunyi akhir (rima), tetapi dalam sistem penulisan teks kidung dalam lontar-lontar kerap kali tidak menggunakan tanda batas larik (baris).
“Yang biasanya ditandai dengan tanda carik tunggal, seperti pada teks kakawin maupun geguritan, dan satu bait kidung biasanya ditandai dengan tanda pamada (carik agung),” katanya.
Pola metrum tengahan biasanya disusun dengan komposisi yang terdiri atas kawitan (panjang dan pendek), pangawak (panjang dan pendek).
Lalu ada pula geguritan (sekar alit/sekar macapat). Sekar alit (macapat) diikat aturan padalingsa yang terdiri atas guru wilangan atau jumlah suku kata dalam satu baris (satu gatra).
Kemudian guru gatra, jumlah baris dalam satu bait (pada). Serta guru dingdong suara akhir pada setiap baris (a, i, u, e, o).
“Sebagaimana disebutkan di atas, dharmagita merupakan jenis sastra, yakni sastra tembang (gita). Dalam eksistensinya sebagai sastra tembang, dharmagita memiliki konvensi, baik konvensi sastra, konvensi bahasa, ataupun konvensi budaya, sesuai dengan genre-nya, yaitu sloka, palawakya, kakawin, kidung, dan geguritan,” tegas Suarka.
Sebagai sastra tembang, dharmagita menggunakan bahasa sebagai media.
Sejalan dengan kedudukannya sebagai karya sastra tembang itu, maka bahasa dalam dharmagita menunjukkan ciri-ciri, antara lain bahasa dharmagita sebagai bahasa khas yang retorik, stilistik. Yakni bahasanya bersifat khusus dan dianggap menyimpang dari bahasa sehari-hari.
Kekhususan atau keistimewaan bahasa dalam sastra itu, memang merupakan faktor yang ditonjolkan sejak dulu.
Hal itu berkaitan dengan eksistensi sastra, sebagai seni yang meliputi retorika dan gramatika.
Sebagai retorika, pemakaian bahasa dalam karya sastra dianggap pemakaian bahasa yang baik dan menjadi teladan.
Sebagai gramatika, bahasa karya sastra dianggap sebagai bentuk pemakaian bahasa yang tepat.
Hal ini berkaitan dengan kedudukan sastrawan atau pujangga, sebagai orang teladan yang memakai bahasa secara baik dan optimal. Sehingga diteladani oleh orang beradab.
Penyair memiliki kekuatan persuasif, yang diwujudkan melalui kemampuan untuk mengajar, memberi nikmat, dan menggerakkan.
Kedua, bahasa dalam dharmagita merupakan sistem semiotik tingkat kedua, atau dalam bahasa Bali dinamakan basa makulit. “Karya sastra menggunakan bahasa sebagai media, dan bahasa itu merupakan sistem semiotik tingkat pertama. Bahasa, sebelum digunakan penyair, sudah merupakan sistem tanda, sistem semiotik,” katanya.
Setiap tanda, unsur bahasa itu mempunyai arti tertentu, yang secara konvensional disetujui penuturnya, yang harus diterima masyarakat penuturnya, dan yang mengikat mereka.
Singkatnya, bahasa telah memiliki arti (meaning). Ketika bahasa itu digunakan dalam karya sastra, arti bahasa diberi arti melalui konvensi sastra.
Karena itu, arti bahasa dalam sastra adalah arti dari arti (meaning of meaning) atau disebut makna (significance).
Jenis-jenis bahasa yang digunakan dalam dharmagita, meliputi bahasa Sanskerta, bahasa Jawa Kuna, bahasa Tengahan, dan bahasa Bali. Dharmagita berfungsi sebagai salah satu unsur, yang dapat membuat sebuah yajna menjadi satwika yajna.
Hal ini dapat dipahami melalui pemaknaan hakikat dharmagita sebagai sebuah sastra tembang. Tembang juga disebut sekar.
Sekar juga dapat berarti bunga. Oleh karena itu, bunga-bunga selalu hadir dalam dharmagita, sehingga dharmagita dapat membuat hati pembaca, pendengar, dan penikmatnya menjadi berbunga-bunga.
Dalam hubungan inilah tubuh manusia, dharmagita, dan bunga dapat dipahami sebagai sekar. Bunga adalah sekar, dharmagita (tembang) adalah sekar, dan tubuh manusia adalah juga sekar.
Ketiganya merupakan yantra, tempat semayam dewa keindahan. “Dharmagita juga merupakan ungkapan rasa bhakti (sradha) kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa,” jelasnya.
Dharmagita diciptakan oleh penyair (pujangga) melalui beberapa tahapan.
Pujangga (sang kawi) memulai karyanya dengan menyembah dewa pilihannya, sebagai dewa keindahan, sebagai asal dan tujuan.
Dewa itu dipandang menjelma dalam segala keindahan, baik di alam sakala, sakala-niskala, maupun alam niskala.
Guna menemukan dewa keindahan yang menjelma di alam sakala, pujangga (sang kawi) mengembara, mengamati pertempuran, kecantikan wanita, menyusuri pantai, menjelajah gunung, hutan, sungai, dan lain-lain sambil berlaku tapa.
Dewa keindahan yang berada di alam niskala, berhasil ditemukan berkat laku tapa atau samadi pujangga (sang kawi).
Dewa keindahan berkenan turun dan bersemayam di alam sakala-niskala, yakni di atas padma hati atau jiwa pujangga (sang kawi). Pujangga (sang kawi) berupaya mempersatukan diri dengan dewa tersebut.
Persatuan itu merupakan sarana, yakni dengan persatuan itu pujangga (sang kawi) “bertunas keindahan” sehingga ia mampu menciptakan dharmagita, dan sekaligus tujuan, yakni dengan menciptakan dharmagita, pujangga (sang kawi) berharap dapat mencapai pembebasan tertinggi.
Sejalan dengan itu, maka dharmagita merupakan yoga sastra dan yoga keindahan. Dalam rangka yoga itu, dharmagita merupakan yantra, sebagai candi tempat semayam dewa keindahan dan objek samadi bagi para pemuja dewa keindahan serta sebagai silunglung, bekal kematian.
Dharmagita berfungsi membentuk dan menumbuhkan budi pekerti luhur (budi kaparamartan).
Dharmagita juga berfungsi sebagai hiburan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dharmagita adalah nyanyian suci keagamaan. Dengan melihat hakikat dharmagita sebagai sebuah nyanyian, maka unsur estetika (keindahan) merupakan hal esensial dalam dharmagita. Unsur estetika, secara intrinsik berfungsi sebagai pembangkit nilai estetika bagi dharmagita itu sendiri.
Secara ekstrinsik akan memberikan efek estetis bagi penikmat dharmagita.
Efek estetis menyebabkan penikmat merasa terhibur oleh kandungan estetis dharmagita.
Aspek estetis akan menyantuh budi. Karena itu, apabila pengucapan dharmagita dilakukan dengan benar dan tepat akan dapat menggetarkan hati nurani yang paling suci (budi).
“Budi nurani suci akan dapat menguasai pikiran atau manah. Pikiran (manah) yang kuat mengendalikan nafsu keinginan (indria). Nafsu keinginan (indria) yang terkendali dengan baik akan dapat mengarahkan perbuatan kita berpegang pada dharma (kebenaran). Perbuatan yang berpegang pada dharma akan menghasilkan pahala mulia berupa ananda, yakni kehidupan bahagia lahir dan batin,” imbuhnya.
Cara mempelajari dharmagita, kata dia, memang memiliki kekhususan. Yakni melalui tiga tahapan, terdiri atas wirama (membaca dan menembangkan teks dharmagita sesuai jenis tembangnya).
Wiraga, menerjemahkan teks dharmagita ke dalam bahasa yang paling dekat dengan pembaca.
Serta wirasa, mendiskusikan makna teks yang ditembangkan agar dapat memperoleh suasana emosional teks atau rasa. (*)