Wisata Religi, Sembuh Setelah Melukat di Pancoran Solas Taman Mumbul Sangeh
Ketua Pengelola Penglukatan Pancoran Solas Taman Mumbul Sangeh, menjelaskan destinasi wisata religi ini telah ada sejak 2016
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA – Aroma wangi dupa dan bunga, semerbak menyeruak begitu mendekati tempat melukat Pancoran Solas Taman Mumbul, Sangeh, Badung, Bali.
Pemangku dengan pakaian serba putih, menyambut pamedek yang akan melukat.
Sebelum melukat, para pamedek menghaturkan canang meminta izin dan anugerah kepada pelinggih yang ada di sana.
Ketua Pengelola Penglukatan Pancoran Solas Taman Mumbul Sangeh, I Gusti Agung Made Adi Wijaya menjelaskan, destinasi wisata religi ini telah ada sejak tahun 2016.
Baca juga: Teman Terbaik, 7 Kelebihan Zodiak Taurus yang Perlu Kamu Tahu, Setia & Penyimpan Rahasia yang Hebat
Baca juga: Andrea Dovizioso Berpotensi CLBK dengan Yamaha Musim Depan
Baca juga: 5 Arti Mimpi Buang Air Kecil Pertanda Kehidupan yang Boros hingga Dapat Pekerjaan Baru
“Itu baru diresmikan untuk tempat melukat, tetapi pancoran dan pura di sini sudah ada sejak dahulu kala,” jelasnya kepada Tribun Bali, Rabu (28/10/2020).
Sebelum menjadi destinasi wisata religi penglukatan, Taman Mumbul ini dikenal masyarakat sekitar sebagai tempat mandi umum dan tempat memancing ikan.
Kemudian tetua dan para warga desa memiliki ide, untuk membangun destinasi wisata melukat serta dibantu Pemkab Badung.
Gung Adi, sapaan akrabnya, menjelaskan konsep penglukatan dibagi tiga.
Tirta mandala, toya mandala, dan yeh mandala.
Tirta mandala, jelas dia, adalah air untuk upacara suci umat Hindu di Sangeh.
Semisal piodalan, nyegara gunung, melasti, dan lain sebagainya.
Pusatnya di Utara lokasi melukat, khususnya di Pura Taman Mumbul.
Kemudian toya mandala, adalah air yang digunakan untuk penglukatan atau mandi.
Kalau yeh mandala, adalah untuk irigasi subak sekitar 300 hektare sawah yang dialiri air dari mumbul.
Untuk itu, kawasan di Desa Sangeh, Abiansemal ini sangat hijau dan banyak sawah di sekitarnya.
Proses membuat tempat melukat ini juga dilalui dengan prosesi upacara lengkap dengan banten sesuai sastra agama Hindu.
Matur piuning, dan lain sebagainya, sehingga semuanya berjalan lancar.
Dengan harapan semuanya berjalan sesuai harapan.
Sebelum ada tempat melukat, lokasi ini adalah kawasan belantara dengan pancoran tempat mandi yang berpindah-pindah.
Kemudian ditata kembali menjadi tempat melukat yang luas dan indah.
Berdasarkan cerita dari pamedek pada dirinya, banyak yang datang merasakan sensasi berbeda setelah selesai.
“Kalau kasat mata penglukatan itu sama saja, namun beberapa ada yang meyakini sehingga setiap minggu datang ke sini,”jelasnya.
Ada yang dahulu merasakan sakit, setelah melukat ke sana sakitnya berkurang bahkan hilang.
Pancoran solas ini berkonsep Dewata Nawa Sanga atau sembilan dewa yang terkenal di Bali, ditambah dua pancoran yaitu Dewi Gangga dan Dewi Saraswati.
Sehingga totalnya 11 pancoran, dari sembilan dewa dan dua dewi.
“Bali kan dikenal dikelilingi Dewata Nawa Sanga, yang menjaga dari segala penjuru. Sehingga dengan pancoran ini diharapkan percikan air suci mampu membersihkan diri dan menyelamatkan yang melukat dari marabahaya,” jelasnya.
Dewi Gangga, filosofinya adalah dewi kesuburan, sementara Dewi Saraswati adalah dewi ilmu pengetahuan.
“Ada pengunjung yang pernah merasa berat badannya, setelah melukat langsung ringan,” imbuhnya.
Sebelum pandemi destinasi ini biasa buka dari pukul 08.00 Wita sampai 21.00 Wita.
Begitu pandemi sempat tutup selama empat bulan dari Maret, dan kembali buka saat new normal dari pukul 07.00 Wita sampai 19.00 Wita.
Pemangku yang ngayah di tempat melukat, merupakan pemangku pura-pura yang ada di Sangeh dan ngayah bergantian.
Per hari ada dua mangku yang ngayah, yakni pagi sampai siang dan sore sampai malam.
Ia menjelaskan, tak ada pantangan untuk melukat.
Hanya saja bagi pamedek yang cuntaka atau sedang haid dan ada keluarga yang meninggal maka tidak diizinkan melukat.
Intinya berpakaian sopan, membawa kamen dan selendang, serta membawa sarana sembahyang seperti canang dan dupa.
Sementara untuk fasilitas di lokasi juga sangat lengkap, seperti kamar ganti hingga toilet dan loker.
Untuk sewa loker biayanya Rp. 10.000 per loker.
Sedangkan kamar mandi gratis.
Gung Adi mengatakan, selain masyarakat lokal Bali banyak pula warga luar Bali dan asing yang datang melukat.
Sehingga dengan hadirnya destinasi melukat ini, memberikan pemasukan baru bagi desa dan lapangan kerja bagi warga di sana.
Walau karena pandemi Covid-19 ini kunjungan menurun drastis, namun ia optimistis semua akan segera kembali normal.
“Protokol kesehatan pun tetap kami jalankan di sini,” tegasnya.
Penurunan kunjungan, sebut dia, karena ketika Galungan dan Kuningan tempat melukat ini tutup.
Sedangkan pada hari raya tersebut, termasuk Purnama, Kajeng Kliwon, dan Tilem, biasanya pamedek membludak dan banyak.
Alasan lainnya, selain melukat adalah wisata kuliner.
Sebab sebelum pandemi, trotoar di depan pintu masuk dipenuhi jejeran pedagang dan wisata kuliner khas Bali khususnya Sangeh.
Seperti sate, nasi, jajanan, dan lain sebagainya.
Pemasukan dari destinasi melukat masuk ke Desa Sangeh, per bulannya dipotong biaya operasional dan gaji karyawan serta punia pemangku.
“Setiap bulan kami bikin laporan, diaudit panureksa dan tanda tangan bendesa, lalu disangkepkan di banjar,” sebutnya.
“Yang menjaga di sini (tempat melukat), ada 10 karyawan dari 5 banjar di Sangeh. Masing-masing banjar dua orang, jadi totalnya 11 termasuk saya. Mereka bekerja shift 8 untuk pagi dan 2 untuk malam,” ujarnya.
Ia berharap pandemi Covid-19 segera berakhir dan pamedek kembali datang. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bali/foto/bank/originals/pamedek-melukat-di-pancoran-solas-taman-mumbul-sangeh.jpg)