Ngopi Santai
Belajarlah Untuk Bertambah Bodoh
Makin banyak orang yang menempuh pendidikan tinggi, namun literasi emosi dan spiritual mereka tidak berbanding lurus dengan literasi intelektualnya.
Penulis: Sunarko | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Tentu saja, “mengerti” (understand) masih mending, karena ia bisa diartikan sebagai mengetahui secara terstruktur dan sistematis.
Nah, karena kebanyakan orang baru berada di tahap “tahu”, maka yang terjadi kini adalah kebisingan dan kegaduhan.
Penjelasannya begini: tatkala internet, terutama media sosial, menyediakan kesempatan yang luas untuk berkomunikasi bahkan secara real time, maka “tahu” berubah menjadi saling merasa tahu, dan menjelma menjadi kebisingan (noise), bahkan pertikaian. Inilah cacophony.
Di era ini, kata Erling Kagge, jeda (pause) dan hening (silent) menjadi barang langka.
Akan tetapi, bagi banyak kalangan, memilih diam-hening di era sekarang justru bukan lagi dinilai emas. Silence is not golden anymore. Diam justru dianggap perunggu, dinilai sebagai pilihan yang bodoh.
Oleh karena itu, kini diam dan hening bukan saja menjadi barang langka, malahan sangat langka. Sampai ada yang bercanda “diam itu spesies yang sangat langka, dan karena itu perlu dilindungi undang-undang agar tidak punah…”.
Abad kebisingan ini tentu saja mempromosikan manusia-manusia yang pintar berkomentar bahkan pintar adu mulut, termasuk yang bermulut besar seperti Donald Trump.
***
Sekali lagi, mengetahui dan memahami itu barulah pada tataran inteligensia, yang masih rentan terjerumus ke dalam sikap sok pintar.
Dibutuhkan pengendapan (kontemplasi) dalam keheningan (silence) untuk menuju penghayatan (internalisasi), dan selanjutnya pengamalan (practice) dari apa yang diketahui agar bisa benar-benar mengetahui secara hakikat, dan meraih kesadaran (consciousness) serta pencerahan (enlightenment).
Pakubuwono IV dalam Serat Wulangreh mengatakan ngelmu iku kelakone kanthi laku. Untuk benar-benar berilmu, tidak cukup seseorang hanya mengetahui, tetapi dia harus juga menjalani atau mempraktikkannya (laku).
Bahkan ada istilah “kalah ilmu ananging menang laku”, yakni orang berpendidikan tinggi bisa kalah sukses dengan orang berpendidikan rendah yang kaya pengalaman hidup.
Di sini kemudian ada paradoks. Kita mesti melakukan hal yang berlawanan.
Di era internet dimana orang-orang menjadi sangat terhubung (highly-interconnected ) setiap waktu dalam lalu lintas komunikasi yang padat, justru diperlukan tekad untuk menjaga jarak (distancing) atau menjauhi internet sebagai bagian dari membangun kenormalan baru (new normal) yang sehat dan positif.
Istilah dari Carl Newport dalam bukunya Digital Minimalism, manusia era internet membutuhkan digital declutter.