Ngopi Santai

Belajarlah Untuk Bertambah Bodoh

Makin banyak orang yang menempuh pendidikan tinggi, namun literasi emosi dan spiritual mereka tidak berbanding lurus dengan literasi intelektualnya.

Penulis: Sunarko | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Image by Annica Utbult from Pixabay
Ilustrasi benda kecil 

Jika pikiran (otak) anda ibarat komputer atau perangkat teknologi digital (katakanlah ponsel pintar), semakin banyak aplikasi atau fitur-fitur di ponsel, maka semakin banyak kapasitas/ruang penyimpanan (storage) yang dibutuhkan di ponsel untuk data baru.

Apabila informasi atau data kian berjejal, maka tumpukan data digital itu akan memperlambat proses kerja ponsel. Kerjanya jadi lemot, dan karena itu perlu untuk dibersihkan secara rutin. Itulah yang disebut digital declutter.

Nah, “komputer insani” pun penting untuk dibersihkan secara berkala. Internetisasi atau konektivitas perlu diimbangi dengan keberanian untuk melakukan diskonektivitas. Intinya, pikiran juga butuh dibersihkan bahkan mungkin di-setting ulang.

Seperti kekacauan digital, ketidakmampuan dalam mengorganisasi paparan informasi dan pengetahuan akan membuat hidup lebih rumit dan stres.

Sebab itu, yang diperlukan tidak hanya meng-update ilmu, tapi juga membuang ilmu serta pandangan lama yang tidak relevan dan konstruktif. Salah-satu caranya, melalui keheningan.

Digital declutter kurang lebih identik dengan unlearning dalam konsep Alvin Tofler. Yakni proses mengeksplorasi apa yang telah kita simpan dalam sistem internal pengetahuan kita, dan menghapus data-data yang tidak relevan serta kadaluwarsa.

Jadi, belajar bukanlah cuma proses menambah dan mengoleksi, tetapi juga proses nengurangi dan membuang.

Dengan demikian, di era internet, hakikat manusia pembelajar justru adalah manusia yang terus merasa bodoh. Dengan kerendahan hati untuk merasa bodoh, ia akan mudah men-delete data dan pandangannya yang tidak relevan, sehingga daya tampung pikirannya jadi lebih luas untuk menerima ilmu baru.

Jadi, seseorang yang merasa pintar sejenis kepintaran gudang pengetahuan berjalan (baca: kolektor pengetahuan), justru orang itu menyingkap kebodohan sendiri yang sesungguhnya. Jumlah orang seperti ini banyak di era internet. Jangan-jangan saya salah-satunya hehehe. Semoga tidak.

So, tetaplah rendah hati dan merasa bodoh dalam kepintaran.  Bukankah kerendahan hati adalah tanda dari jiwa yang sehat? Bagaimana pendapat(an) anda?

Denpasar, 31 Oktober 2020

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved