Menilik Stres dari Gigi
Mengapa di era yang seharusnya menghindari dokter gigi malah masalah bermunculan, apakah ada hubungannya dengan stres?
oleh: drg. Puspita Rahardjo Putri
“Dok, apakah perawatan gigi saya dapat ditunda? Apa bisa sementara saya minum anti nyeri saja? Usaha travel saya macet,” kata seorang pasien di klinik gigi daerah Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat.
Untuk kebanyakan orang, pandemi Covid ini berat.
Banyak usaha yang terhalang, kehilangan pekerjaan, menurunnya pendapatan, adaptasi dengan keadaan yang membingungkan, sudah hal yang wajar di masa pandemi ini, tapi tetap memusingkan.
Kadang kita merasa kewalahan dengan yang kita lakukan saat ini, ketar ketir apa yang terjadi selanjutnya, apakah itu artinya kita sedang stres?
Stres digambarkan sebagai reaksi tubuh terhadap suatu perubahan, yang butuh respon, regulasi, adaptasi fisik, fisiologi maupun emosi. Bisa juga jadi awalan pada gangguan kecemasan dan depresi.
Kalau melirik data swaperiksa yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, saat masa pandemi ini, ternyata hasilnya 65% cemas dan 62% depresi.
Lalu apakah ada hubungannya stres dengan gigi?
Akhir-akhir ini banyak pasien yang datang ke dokter gigi dengan keluhan gigi patah, tambalan pecah dan sakit sewaktu membuka mulut.
Tetap menjaga kesehatan gigi seperti biasa, sudah menghindari makanan manis, menyikat gigi 2x sehari, menggunakan obat kumur dan dental floss, katanya.
Lalu mengapa di era yang seharusnya menghindari dokter gigi malah masalah bermunculan, apakah ada hubungannya dengan stres?
Kalau mau lihat orang stres secara langsung, tidak akan ketara. Stres sulit dilihat secara langsung, bahkan terkadang kita sendiri tidak menyadari bahwa kita stres.
Tapi tubuh tidak akan berbohong, saat stres tubuh akan memproduksi hormon stres, kortisol, yang akan mengirimkan sinyal sehingga tubuh kita bersiap.
Sinyal stres mengganggu kinerja tubuh yang normal, keseimbangan motorik berubah, akhirnya aktivitas otot penutup rahang menjadi berlebihan.
Pada beberapa orang depresi, otot menjadi hiperaktif, sehingga terjadi penghambatan refleks membuka mulut saat fase tidur.