Begitu Mendalam, Ida Pedanda Wayahan Bun Ungkap Nasihat Lengkapnya pada AWK

Begitu Mendalam, Ida Pedanda Wayahan Bun Ungkap Nasihat Lengkapnya pada AWK

Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Ida Pedanda Wayahan Bun, Griya Sanur Pejeng Gianyar. Sulinggih yang memberikan piteket kepada AWK dan mengarahkan agar AWK meminta maaf dan menghaturkan guru piduka. Salah satu piteket beliau adalah mulat sarira atau introspeksi diri. 

Ternyata Dewa Ganesha, namun diberikan nama Ratu Lantang Irung karena hidungnya panjang.

Hal-hal seperti ini, yang harus dipahami AWK dalam budaya lokal Bali.

“Makanya penamaan-penamaan dewa, bhatara, di Bali sebelum Hindu masuk memang kebanyakan diberi nama secara lokal,” sebut beliau.

Ida pedanda menyebutkan, tidak salah menyebutkan bhatara atau dewa karena keduanya memiliki arti masing-masing.

Bhatara berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pelindung.

“Masyarakat Bali menganggap bhatara sebagai pelindung. Bahkan zaman dahulu, seorang raja pun dianggap bhatara layaknya pelindung,” jelas beliau.

Kemudian dewa juga berasal dari bahasa Sansekerta, berarti sinar suci.

“Dewa dianggap memberikan sinar kehidupan, di dalam kehidupan manusia dan memberikan tuntuan. Sebetulnya dalam ajaran Weda, disebutkan Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti. Yang berarti, sinar suci Sang Hyang Widhi Wasa itu jutaan. Jadi apapun sebutannya, baik dewa atau bhatara, adalah sinar Tuhan,” tegasnya.

Diberi nama berbagai macam karena fungsinya juga bermacam-macam.

Sesuai ajaran Bhagawan Gita, jelas beliau, masyarakat Hindu Bali juga akhirnya menyembah bhatara dan dewa.

Bahkan di padmasana, juga menyembah Tuhan dalam sebutan Acintya.

“Ada tahapan-tahapannya, nah ini lah konsepsi ketuhanan di Bali yang harus dikuasai,” jelas Ida pedanda. Jangan sampai menentang local genius di suatu daerah. Sehingga jika menjadi pemimpin Bali, harus dikuasai Bali sekala-niskala, lahir-batin masyarakatnya.

Petuah ketiga, dalam pengertian melaksanakan swadharmaning ksatria utama.

Menjelaskan orang ksatria dari para ksatria yang mampu mengalahkan 100 orang tangguh sekaligus.

Adalah seseorang yang mampu mengakui kesalahannya.

“Saya katakan pada AWK, apabila berjiwa ksatria maka mau minta maaf atas kesalahan sendiri,” tegasnya.

Kemudian sesuai tradisi Bali, permintaan maaf tidak hanya dengan kata-kata namun dengan menghaturkan guru piduka.

AWK kemudian bertanya, dimana ia harus melaksanakan guru piduka ini.

“Pertama anda harus melaksanakan di Pura Besakih, karena anda menyinggung Sang Hyang Tohlangkir di Gunung Agung,” jelas Ida pedanda kepada AWK.

Sebab sejarah kisah mitologi Gunung Agung dan Bali mengandung nilai sangat tinggi.

Gunung Agung, jelas beliau adalah lingganya Bali.

Sebelum ada Gunung Agung, Bali gonjang-ganjing seperti pulau kambang.

Akhirnya para dewa, kisah beliau, mengambil salah satu puncak gunung Mahameru dan ditaruh di Bali baru kuat pulau ini.

Sehingga untuk masalah apapun, apalagi masalah gonjang-ganjingnya Bali harus nunas ica di Gunung Agung dan Pura Besakih.

Kemudian menghaturkan guru piduka ke Pura Dalem Ped serta ke Gunung Semeru.

“Anda ke Dalem Ped, nanti saat gelombang telah mereda. Jangan menyeberangkan perahu saat gelombang masih tinggi,” sebutnya.

Intinya Ida pedanda meminta AWK melihat situasi, dan datang saat sudah lebih kondusif.

Sebab, lanjut beliau, sepanas-panasnya amarah manusia pasti akan damai juga.

Ikuti filosofi panas air, karena sepanas apapun air ia tidak bisa membakar.

Sementara jika panas api, maka ia bisa membakar apapun.

“Sekecil apapun nyala api, ia bisa membakar bangunan besar,” tegasnya.

Maka dari itu, beliau meminta AWK agar mengubah panas api menjadi panas air.  

Seperti tutur kakek sang Rahwana, jelas beliau, mengatakan kepada Rahwana bahwa Rama sangat kuat.

Tatkala pasukan Rama sudah siap menggempur Alengka, kakeknya meminta Rahwana agar meminta maaf dan mengembalikan istrinya.

Namun ditolak Rahwana, dan akhirnya ia kalah lalu Alengka hancur.

Begitu juga ketika perang antara Korawa dan Panca Pandawa.

Prabu Salya meminta agar Duryodana meminta maaf, kepada Panca Pandawa namun ditolak sampai akhirnya mereka perang dan Korawa kalah.

Dari pelajaran ini, dapat dipetik hikmah bahwa senjata yang paling ampuh untuk mengatasi polemik saat ini adalah dengan meminta maaf.

“Kalau sudah anda (AWK) meminta maaf, menghaturkan guru piduka. Saya yakin pelan-pelan panasnya api akan menjadi panasnya air dan setelah itu akan dingin,” jelas beliau.

Semua memerlukan waktu, dan sang waktulah yang menentukan.

Ida pedanda, mengibaratkan dirinya sebagai pengembala sapi saat memberi petuah pada AWK.

“Saya pengembala sapi, hanya menyediakan tempat air pada sapi, sisanya terserah sapi apakah minum air atau tidak,” tegas beliau.

Intinya, kata beliau, kehebatan dan kecerdasan seseorang apabila tidak didasari moral yang luhur maka menjadi penjahat hebat.

Namun jika kehebatan dan kecerdasan seseorang, apabila didasari moral yang luhur maka akan menjadi pemimpin hebat.

“Anda adalah penentu, pelaku, pembuat soal, dan pemberi nilai. Semuanya tergantung anda, karena berlian mestinya ada pada tukang emas bukan pada tukang batu,” ucapnya.

Ia mengatakan, jangan mengorbankan masa depan demi masa kini.

Dengan mencari popularitas, yang akhirnya hanya menjadi polemik.

Mendengar piteket dari Ida pedanda, AWK hampir menangis.

Semuanya sebenarnya sangat ringan, jika mampu menggunakan rem dengan baik.

“Apapun yang ratu nasehati akan saya laksanakan,” kata beliau menirukan ucapan AWK.

Itulah tujuan AWK datang ke Griya Sanur Pejeng Gianyar, untuk mendapatkan pencerahan dari sang wiku.

Beliau menegaskan, kewajiban brahmana mengisi dan mengarahkan seseorang, agar tidak tersesat dan kembali ke jalan kebenaran. 

Sesuai sebutan brahmana sebagai surya, layaknya matahari yang menyinari dunia dari kegelapan.(ask).

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved