Begitu Mendalam, Ida Pedanda Wayahan Bun Ungkap Nasihat Lengkapnya pada AWK

Begitu Mendalam, Ida Pedanda Wayahan Bun Ungkap Nasihat Lengkapnya pada AWK

Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Ida Pedanda Wayahan Bun, Griya Sanur Pejeng Gianyar. Sulinggih yang memberikan piteket kepada AWK dan mengarahkan agar AWK meminta maaf dan menghaturkan guru piduka. Salah satu piteket beliau adalah mulat sarira atau introspeksi diri. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR – Setelah polemik terjadi di Bali, akibat ucapan Arya Wedakarna (AWK), dalam sebuah dharma wacana tersebar luas.

Membuat suasana kian memanas. Anggota DPD RI perwakilan Bali ini pun, sempat digetok oleh seorang pendemo.

Namun akhirnya, AWK meminta maaf melalui akun media sosialnya.

Uniknya, permintaan maaf ini dilakukannya setelah mendapatkan petuah dari seorang wiku, bernama Ida Pedanda Wayahan Bun, dari Griya Sanur Pejeng Gianyar.

Baca juga: AWK Minta Maaf Via Instagram, Ketua PHDI Bali: Ucapan Harus Direalisasikan dengan Wujud Perilaku

Tribun Bali, berkesempatan berdiskusi dengan Ida pedanda di sela-sela kesibukannya, Senin (9/11/2020) di Pejeng, Gianyar.

Ia tak menampik, bahwa ada pernyataan AWK yang menyebabkan polemik.

Apalagi AWK adalah seorang pejabat negara, sehingga apa yang diucapkannya akan menjadi perhatian publik.

“Saya sebagai brahmana, tentu menanggapinya dengan cara-cara brahmana,” jelas beliau.  

Cara-cara brahmana, yang beliau maksud adalah brahmana tidak senang bila ia dipuji.

Brahmana tidak duka saat dihina, dan brahmana tetap tenang serta pemaaf.

“Sebab kebesaran seorang brahmana bukan pada balas dendam, tetapi justru pada pengampunannya,” tegas Ida pedanda.

Ia juga melihat banyak sisi baik dari AWK sebagai pemimpin, yang memperjuangkan Bali di kancah politik nasional.

Beliau menceritakan, bahwasanya telah cukup dekat dengan AWK sejak 2011 saat upacara nilapati Bung Karno.

“Awalnya AWK minta tanggal 4 kemarin ke sini, namun karena saya ada acara maka kemarin baru bisa bertemu,” jelasnya.

Ia menegaskan, kehadiran AWK bukan untuk meminta dukungan melainkan meminta piteket (petuah) dari seorang wiku (pendeta).

Ida pedanda pun, menerima dengan lapang dada kedatangan seseorang asalkan kedatangannya dengan rasa bakti.

“Jangankan Wedakarna, penjahat pun tangkil harus kita terima,” tegasnya.

Bukan berarti mendukung, namun lebih kepada menjalankan tugas brahmana sebagai pencerah umat.

Singkat cerita, Ida pedanda memberikan tiga piteket (petuah) kepada AWK.

Diantaranya, mulat sarira (introspeksi diri), ngalap kasor (menurunkan ego dan emosi), dan ketiga adalah melaksanakan swadharmaning ksatria utama.

Mulat sarira, jelas beliau, adalah introspeksi diri dengan melihat diri sendiri lebih dalam.

“Melihat kekurangan dan kebodohan kita, ini yang perlu dilihat. Karena kebodohan terbesar bagi seseorang adalah bila dia selalu merasa pintar,” sebutnya.

Orang seperti ini, sejatinya adalah orang yang bodoh bila selalu merasa lebih pintar dari yang lain.

Hal itu menyebabkan manusia mabuk karena dirinya sendiri.

“Mabuk karena pintar, membuat seseorang lupa diri. Membuat seseorang keceplosan, dan berdampak tidak baik,” katanya.

Apalagi jika membicarakan hal-hal niskala, tentu harus banyak dipertimbangkan.

Sebab meskipun bagi seseorang itu adalah kebenaran, namun jika kebenaran diungkapkan pada momen yang tidak tepat akan mendatangkan bencana kebenaran.

“Jadi kebenaran yang tidak tepat juga mendatangkan bencana,” imbuhnya.

Kebenaran dan ketidakbenaran, semuanya berasal dari dalam diri sendiri.

“Bila dalam kehidupan ini, kepala (pikiran) menguasai diri kita. Sesungguhnya itulah tahapan pertama ketidakbenaran. Kemudian kebenaran itu akan muncul bila hati nurani yang menguasai diri kita,” tegas beliau.

Hati nurani tidak akan berbohong, sementara pikiran sering berubah, dan mulut sering berbohong.

Sebab hati nurani bagian paling murni dan halus dalam diri manusia.

Masalah niskala di Bali, kata beliau, harus mengikuti petuah para panglingsir Bali zaman dahulu.

“Ngalap kasor itu, seperti dalam Arjuna Wiwaha ketika pertemuan Dewa Indra dengan Arjuna. Disebutkan keduanya saling ngalap kasor, atau merendahkan ego dan tensi atau emosi, dengan tujuan mengambil hati orang,” jelas beliau.

Ngalap kasor, menjadi tuntunan agar tidak merasa diri paling super.

Semua manusia masih makan nasi dan minum air.

Namun manusia yang mampu menggunakan rem dengan tepat, dalam kehidupan akan lebih baik.

“Kalau rem sudah blong, apapun bisa dilabrak,” katanya pada AWK.

Ia mengingatkan, apabila AWK ingin menjadi pemimpin maka harus paham dan menguasai Bali sekala-niskala.

Bukan hanya mengenal masyarakat Bali saja, namun budaya, adat, serta alam sekala-niskala juga harus dipahami.

Beliau menjelaskan, sebelum agama Hindu secara mantap masuk di Pulau Dewata.

Penamaan-penamaan dewa di Bali, disesuaikan dengan nama lokal oleh warga setempat.

Ida pedanda menceritakan, pernah melakukan penelitian di Blanjong, Sanur.

Ada warga masyarakat memberi petunjuk, bahwa di dalam taru ada arca dengan nama Ratu Lantang Irung.

Ternyata Dewa Ganesha, namun diberikan nama Ratu Lantang Irung karena hidungnya panjang.

Hal-hal seperti ini, yang harus dipahami AWK dalam budaya lokal Bali.

“Makanya penamaan-penamaan dewa, bhatara, di Bali sebelum Hindu masuk memang kebanyakan diberi nama secara lokal,” sebut beliau.

Ida pedanda menyebutkan, tidak salah menyebutkan bhatara atau dewa karena keduanya memiliki arti masing-masing.

Bhatara berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pelindung.

“Masyarakat Bali menganggap bhatara sebagai pelindung. Bahkan zaman dahulu, seorang raja pun dianggap bhatara layaknya pelindung,” jelas beliau.

Kemudian dewa juga berasal dari bahasa Sansekerta, berarti sinar suci.

“Dewa dianggap memberikan sinar kehidupan, di dalam kehidupan manusia dan memberikan tuntuan. Sebetulnya dalam ajaran Weda, disebutkan Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti. Yang berarti, sinar suci Sang Hyang Widhi Wasa itu jutaan. Jadi apapun sebutannya, baik dewa atau bhatara, adalah sinar Tuhan,” tegasnya.

Diberi nama berbagai macam karena fungsinya juga bermacam-macam.

Sesuai ajaran Bhagawan Gita, jelas beliau, masyarakat Hindu Bali juga akhirnya menyembah bhatara dan dewa.

Bahkan di padmasana, juga menyembah Tuhan dalam sebutan Acintya.

“Ada tahapan-tahapannya, nah ini lah konsepsi ketuhanan di Bali yang harus dikuasai,” jelas Ida pedanda. Jangan sampai menentang local genius di suatu daerah. Sehingga jika menjadi pemimpin Bali, harus dikuasai Bali sekala-niskala, lahir-batin masyarakatnya.

Petuah ketiga, dalam pengertian melaksanakan swadharmaning ksatria utama.

Menjelaskan orang ksatria dari para ksatria yang mampu mengalahkan 100 orang tangguh sekaligus.

Adalah seseorang yang mampu mengakui kesalahannya.

“Saya katakan pada AWK, apabila berjiwa ksatria maka mau minta maaf atas kesalahan sendiri,” tegasnya.

Kemudian sesuai tradisi Bali, permintaan maaf tidak hanya dengan kata-kata namun dengan menghaturkan guru piduka.

AWK kemudian bertanya, dimana ia harus melaksanakan guru piduka ini.

“Pertama anda harus melaksanakan di Pura Besakih, karena anda menyinggung Sang Hyang Tohlangkir di Gunung Agung,” jelas Ida pedanda kepada AWK.

Sebab sejarah kisah mitologi Gunung Agung dan Bali mengandung nilai sangat tinggi.

Gunung Agung, jelas beliau adalah lingganya Bali.

Sebelum ada Gunung Agung, Bali gonjang-ganjing seperti pulau kambang.

Akhirnya para dewa, kisah beliau, mengambil salah satu puncak gunung Mahameru dan ditaruh di Bali baru kuat pulau ini.

Sehingga untuk masalah apapun, apalagi masalah gonjang-ganjingnya Bali harus nunas ica di Gunung Agung dan Pura Besakih.

Kemudian menghaturkan guru piduka ke Pura Dalem Ped serta ke Gunung Semeru.

“Anda ke Dalem Ped, nanti saat gelombang telah mereda. Jangan menyeberangkan perahu saat gelombang masih tinggi,” sebutnya.

Intinya Ida pedanda meminta AWK melihat situasi, dan datang saat sudah lebih kondusif.

Sebab, lanjut beliau, sepanas-panasnya amarah manusia pasti akan damai juga.

Ikuti filosofi panas air, karena sepanas apapun air ia tidak bisa membakar.

Sementara jika panas api, maka ia bisa membakar apapun.

“Sekecil apapun nyala api, ia bisa membakar bangunan besar,” tegasnya.

Maka dari itu, beliau meminta AWK agar mengubah panas api menjadi panas air.  

Seperti tutur kakek sang Rahwana, jelas beliau, mengatakan kepada Rahwana bahwa Rama sangat kuat.

Tatkala pasukan Rama sudah siap menggempur Alengka, kakeknya meminta Rahwana agar meminta maaf dan mengembalikan istrinya.

Namun ditolak Rahwana, dan akhirnya ia kalah lalu Alengka hancur.

Begitu juga ketika perang antara Korawa dan Panca Pandawa.

Prabu Salya meminta agar Duryodana meminta maaf, kepada Panca Pandawa namun ditolak sampai akhirnya mereka perang dan Korawa kalah.

Dari pelajaran ini, dapat dipetik hikmah bahwa senjata yang paling ampuh untuk mengatasi polemik saat ini adalah dengan meminta maaf.

“Kalau sudah anda (AWK) meminta maaf, menghaturkan guru piduka. Saya yakin pelan-pelan panasnya api akan menjadi panasnya air dan setelah itu akan dingin,” jelas beliau.

Semua memerlukan waktu, dan sang waktulah yang menentukan.

Ida pedanda, mengibaratkan dirinya sebagai pengembala sapi saat memberi petuah pada AWK.

“Saya pengembala sapi, hanya menyediakan tempat air pada sapi, sisanya terserah sapi apakah minum air atau tidak,” tegas beliau.

Intinya, kata beliau, kehebatan dan kecerdasan seseorang apabila tidak didasari moral yang luhur maka menjadi penjahat hebat.

Namun jika kehebatan dan kecerdasan seseorang, apabila didasari moral yang luhur maka akan menjadi pemimpin hebat.

“Anda adalah penentu, pelaku, pembuat soal, dan pemberi nilai. Semuanya tergantung anda, karena berlian mestinya ada pada tukang emas bukan pada tukang batu,” ucapnya.

Ia mengatakan, jangan mengorbankan masa depan demi masa kini.

Dengan mencari popularitas, yang akhirnya hanya menjadi polemik.

Mendengar piteket dari Ida pedanda, AWK hampir menangis.

Semuanya sebenarnya sangat ringan, jika mampu menggunakan rem dengan baik.

“Apapun yang ratu nasehati akan saya laksanakan,” kata beliau menirukan ucapan AWK.

Itulah tujuan AWK datang ke Griya Sanur Pejeng Gianyar, untuk mendapatkan pencerahan dari sang wiku.

Beliau menegaskan, kewajiban brahmana mengisi dan mengarahkan seseorang, agar tidak tersesat dan kembali ke jalan kebenaran. 

Sesuai sebutan brahmana sebagai surya, layaknya matahari yang menyinari dunia dari kegelapan.(ask).

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved