Corona di Indonesia

PHRI: Kerugian Industri Pariwisata karena Pandemi Sudah Lebih Rp 100 T, 550 Ribu Pekerja Hotel diPHK

PHRI menyebutkan ada PHK besar yang dialami oleh sekitar 550.000 pekerja hotel, atau 78,5% di industri pariwisata.

Editor: Wema Satya Dinata
Gambar oleh Martin Eklund dari Pixabay
Foto Ilustrasi Hotel Bintang 4- Kerugian Industri Pariwisata karena Pandemi Sudah Lebih Rp 100 Triliun 

TRIBUN-BALI.COM - Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, saat ini industri pariwisata, hotel dan restoran menderita kerugian mencapai lebih dari Rp 100 triliun (T) atau US$ 7,1 miliar hingga awal November 2020.

Kerugian tersebut terjadi karena adanya pandemi virus corona yang akhrinya terdampak pada semua industri pariwisata.

"Itu dari data yang PHRI kumpulkan secara nasional dan semua terdampak," kata dia kepada Kontan.co.id, Kamis (19/11/2020).

Lebih lanjut, PHRI menyebutkan ada PHK besar yang dialami oleh sekitar 550.000 pekerja hotel, atau 78,5% di industri pariwisata.

Baca juga: Parlemen Rusia Rancang Sistem Beri Kekebalan Hukum Seumur Hidup ke Presiden Putin

Baca juga: BI Minta Perbankan Turunkan Bunga Kredit, Ini Tanggapan Bankir

Baca juga: Anggota Dewan Nilai Pemprov Bali Kurang Memberi Perhatian pada Infrastruktur Pariwisata Nusa Penida

 Mengingat, berdasarkan data Badan Pusat Statistisk (BPS), jumlah turis asing yang masuk Indonesia hanya 3,56 juta hingga akhir September 2020.

Jumlah itu, anjlok 70,57% secara tahunan (yoy).

Maulana menjelaskan, saat ini walau okupansi hotel mulai merangkak naik menduduki 30%, hal itu tidak bisa dinilai bisa menambal kerugian.

Sebab, saat ini kuota yang boleh dioperasikan hanya 50% atau kurang dari itu.

Ia juga mengatakan, saat ini tiap pelaku industri perhotelan berlomba-lomba membanting harga sehingga tercipta kompetisi ketat mendapatkan pasar.

Bahkan menurutnya, pergerakan harga akan berubah berdasarkan mood masyarakat.

"Saat ini, industri hotel masih menerima insentif, signifikan atau tidak, ini yang perlu ditelaah.

 Insentif pajak listrik misalnya, karena yang dihitung abonemen-nya, maka bisa dirasakan menjadi untung jika hotel tutup atau tidak beroperasi.

Insentif ini berlaku pada Juli dan pada Juni hotel mulai buka kembali sehingga biaya abonemen lewat dan hotel tetap membayar 100% sesuai banyaknya listrik yang dipakai," sambungnya.

Ia mengatakan insentif ini berlaku sampai akhir Desember dan berharap bisa terus berlanjut.

Baca juga: Novak Djokovic Dinominasikan Kembali ke Dewan Pemain ATP

Baca juga: Mantan Penguasa UFC Tak Setuju Jika Khabib Nurmagomedov Disebut GOAT, Beberkan 2 Alasan Ini

Baca juga: Terkait Kerumunan Saat Sambut Habib Rizieq di Bandara, Polisi Tak Akan Panggil Gubernur Banten

 Pihaknya juga menegaskan insentif BPJS ketenagakerjaan juga masih berlaku saat cashflow terganggu.

Pihaknya juga menelaah insentif yang dikeluarkan oleh Himbara memiliki kekurangan sebab bantuan yang diberikan tidak match.

Ia berkata, insentif tersebut tidak ideal dan tidak efektif, sebab yang dialami oleh industri hotel saat ini adalah demand yang kurang dan persoalan ini tidak visibel di dunia perbankan.

"Karena tidak bisa melihat hal itu, insentif yang diturunkan melalui Perbankan atau Himbara juga tidak efektif sebab mereka juga memiliki regulasi untuk tidak mengambil risiko," imbuhya.(*)

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved