Serba serbi

Apa Saja Pantangan Seorang Pemangku? Berikut Penjelasan Jro Mangku Ketut Maliarsa

Menurut keputusan Mahashaba Parisada Hindu Dharma Indonesia ke II, pada 5 Desember 1968, bahwa yang dimaksud dengan pemangku, adalah mereka yang

Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Para pemangku di Pura Campuhan Windhu Segara 

“Ketujuh kegelapan tersebut, tidak boleh dilaksanakan oleh seorang pemangku karena itu adalah tindakan atau perbuatan kotor, baik dalam bhuana alit pemangku sendiri. Maupun di dalam bhuana agung atau alam semesta,” tegasnya.

Pemangku asli Bondalem ini, menambahkan hal tersebut juga tertulis dalam Bhagawan Gita XVI.21.

Baca juga: Terlibat Kasus Narkotik, Bule Australia yang Sempat Ngamuk & Depresi saat Ditahan Mulai Diadili

Baca juga: Tim Kajian Daerah Setjen Dewan Ketahanan Nasional Kunker di Bali, Lalu Sambangi Makodam IX/Udayana

Baca juga: Akun Shoumaya Tazkiyyah Hilang dari Instagram Setelah Kabar Penangkapan Dua Artis di Kamar Hotel

Kutipannya ‘Triwindhu naraksyedam dwaram nasaram atmanah, kamah, krodhas tahta lobhas tasmed etat trayam ayajet’ dengan arti ada tiga jalan menuju neraka; kama, krodha, dan lobha.

Setiap orang hendaknya menjauhkan ketiga sifat tersebut, sebab ketiga hal tersebut akan menjerumuskan manusia ke alam neraka.

Sehingga manusia tidak bisa mencapai tujuan utama Agama Hindu, yakni ‘Moksartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma’ artinya mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di atas dunia maupun di akhirat.

Setelah menjelaskan larangan yang harus dihindari pemangku.

Jro Mangku Ketut Maliarsa, menjelaskan bahwa pemangku harus dapat menerapkan Panca Yama Brata atau lima pengendalian diri.

Meliputi, Ahimsa, artinya tidak membunuh, tidak menyakiti, dan tidak melakukan kekerasan. Harus bersifat lemah lembut, cinta kasih (welas asih), dan persaudaraan.

Kemudian Brahmacari, artinya mengabdikan diri untuk selalu menuntut ilmu dan belajar ajaran-ajaran ketuhanan, atau ajaran agama dan Weda untuk dipergunakan mengabdi kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

“Selanjutnya, adalah sathya yang berarti melaksanakan kebenaran dan kejujuran dalam kehidupan. Selalu beretika dan berbudi baik dalam menerapkan Tri Kaya Parisudha. Diantaranya, manacika (berpikir), wacika (berkata), dan kayika (berbuat) yang baik,” jelasnya.

Ada pula Awyawaharika atau Awyawahara, artinya tidak berselisih, tidak berjual-beli, dan tidak berbuat dosa karena kepintaran.

Selalu menghindari diri, dari perselisihan atau pertengakaran agar tidak mengotori pikiran dan menggangu ketenangan/keduniawian jiwa.

Kelima adalah Astanya, atau Asteya yang berarti tidak mencuri atau mengambil hak milik orang lain.

Tanpa persetujuan yang mempunyai. Serta tidak boleh mementingkan diri sendiri, agar tidak menyakiti orang lain dari akibat perbuatan dan perkataan. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved