Menteri PPPA Bintang Puspayoga Sebut Perkawinan Anak Meningkat Selama Pandemi Covid-19
Perkawinan anak dilaporkan meningkat selama masa pandemi Covid-19. Hal itu diungkapkan oleh Menteri PPPA I Gusti Bintang Puspayoga.
TRIBUN-BALI.COM - Perkawinan anak dilaporkan meningkat selama masa pandemi Covid-19.
Hal itu diungkapkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Bintang Puspayoga dalam Rapat Koordinasi yang diselenggarakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bertajuk "Hasil Pengawasan Penyiapan Pembelajaran Tatap Muka di Masa Pandemi" Senin (30/11/2020).
Bintang tak memungkiri bahwa salah satu dampak pandemi yaitu tingginya kasus perkawinan anak.
Tingginya kasus itu, kata dia, juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka putus sekolah.
Ia mengatakan, berdasarkan laporan Badan Peradilan Agama Indonesia selama Januari hingga Juni 2020 ada sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan mempelai di bawah usia 19 tahun.
"Ini jadi keprihatinan bagi kita semua. Upaya pencegahan untuk menurunkan angka perkawinan anak, harus terus dilakukan," kata Bintang.
Menurutnya, Kementerian PPPA tidak bisa bekerja sendiri untuk menurunkan angka perkawinan anak yang merupakan salah satu isu prioritas di periode 2020-2024.
Ia pun mengimbau seluruh pihak untuk membantu sosialisasi pencegahan perkawinan anak.
"Hal ini hanya dapat tercapai dengan adanya kerja sama yang baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga masyarakat, dunia usaha , bahkan dari lingkungan masyarakat, sekolah, maupun keluarga itu sendiri untuk mensosialisasikan pencegahan perkawinan anak," kata Bintang.
Pada kesempatan yang sama, Bintang juga menegaskan komitmen pemerintah untuk melindungi anak Indonesia selama masa pandemi dari sisi belajar mengajar.
Adapun pemerintah tetap mengedepankan kesehatan dan keselamatan anak ketika proses belajar mengajar dilakukan baik secara jarak jauh maupun tatap muka.
Baca juga: Mual hingga Benci Aroma Tertentu, 5 Tanda Awal untuk Mengetahui Kehamilan
Berkaitan dengan pembelajaran tatap muka, untuk itu, ia mengingatkan kembali kepada para orangtua bahwa siswa tidak diwajibkan mengikuti pembelajaran tersebut, dan masih bisa belajar secara daring.
"Para siswa tidak diwajibkan untuk mengikuti pembelajaran tatap muka, serta tidak ada pemaksaan pada orangtua jika mempunyai kekhawatiran dan tidak nyaman ketika anaknya masuk sekolah. Pembelajaran tetap dapat dilaksanakan secara daring," tutur Bintang.
Kendati demikian, ia berharap pembelajaran tatap muka dapat dilaksanakan apabila sudah menjalankan "5 Siap".
Slogan "5 Siap" yang dimaksud yaitu Siap Daerahnya, Siap Sekolahnya, Siap Gurunya, Siap Orangtuanya, dan Siap Peserta Didiknya.
Dampak Berkepanjangan
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Puspayoga pernah mengatakan praktik perkawinan anak akan memberi dampak buruk yang berkepanjangan, mulai dari persoalan yang terkait faktor kesehatan hingga kemiskinan.
Hal itu dia ungkapkan dalam diskusi bertajuk Pendidikan Hukum untuk Penanganan Kasus Perkawinan Anak secara daring, Jumat (24/7/2020).
Bintang menuturkan, berdasarkan penelitian badan kesehatan dunia, WHO pada Januari 2020, perempuan di bawah usia 20 tahun secara fisik belum siap mengandung dan melahirkan.
Risikonya, kelahiran bayi dengan berat badan rendah, prematur dan komplikasi kehamilan lainnya.
Dampak lainnya adalah kekerasan dalam rumah tangga, hingga pemberian pola asuh tidak tepat pada anak.
Selain itu, WHO juga menyampaikan bahwa perkawinan anak usia kurang dari 18 tahun sering menyebabkan ketidaksiapan mental sehingga banyak risiko yang akan dihadapi.
"Itu membuat anak putus sekolah yang menghilangkan haknya untuk mendapat pendidikan, kesempatan yang lebih luas dalam bekerja, serta mengalami tingkat stres tinggi karena tidak siap punya anak," tutur dia.
Hal tersebut kemudian berdampak pada aspek ekonomi, karena pendidikan rendah berkorelasi dengan pendapatan yang rendah pula.
"Selain itu karena memiliki beban baru untuk menafkahi keluarga, perkawinan anak meningkatkan risiko naiknya pekerja anak," kata dia.
"Berbagai hal ini menimbulkan risiko tinggi kemiskinan, tidak hanya pada generasi tersebut, tapi generasi berikutnya," ucap Bintang.
Adapun Pemerintah telah menargetkan penurunan angka perkawinan anak menjadi 8,74 persen pada 2024, melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024.
Tercatat persentase angka perkawinan anak di Indonesia pada 2018 sebesar 11,21 persen. Pada 2017, ada 22 provinsi yang memiliki persentase perkawinan usia anak di atas angka rata-rata Indonesia.
Provinsi paling tinggi ditemukan kasus perkawinan usia anak ialah Kalimantan Selatan dengan persentase 23,12 persen.
Menyusul Kalimantan Tengah dengan 20,94 persen dan Sulawesi Barat 19,37 persen. Sedangkan tiga provinsi terendah secara berturut-turut yaitu Yogyakarta 2,21 persen, DKI Jakarta 3,18 persen, dan Kepulauan Riau 4,00 persen.
Pada 2018, terjadi perubahan angka perkawinan usia anak di tiap-tiap provinsi. Jumlah provinsi dengan persentase perkawinan usia anak di atas angka rata-rata pun menurun menjadi 20 provinsi.
Provinsi paling banyak ditemukan perkawinan usia anak adalah Sulawesi Barat dengan presentase 19,4 persen.
Kemudian Kalimantan Tengah dengan 19,1 persen, dan Sulawesi Tenggara dengan angka 19,0 persen.
Sementara itu, tiga provinsi paling sedikit ditemukan kasus perkawinan usia anak yaitu DKI Jakarta dengan presentase 4,1 persen, Kepulauan Riau dengan 4,7 persen dan Sumatra Utara dengan 4,9 persen. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menteri PPPA Harap Semua Pihak Bantu Sosialisasikan Pencegahan Perkawinan Anak"dan "Menghapus Praktik Perkawinan Anak"