Serba Serbi

Bunuh Diri, Ini Hukuman dan Dosanya Dalam Ajaran Agama Hindu

Berikut penjelasan Ketua PHDI Bali tentang bunuh diri, hukuman, dan dosanya yang juga berimbas ke orang lain

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Irma Budiarti
net
Ilustrasi. Berikut penjelasan Ketua PHDI Bali tentang bunuh diri, hukuman, dan dosanya yang juga berimbas ke orang lain. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Banyak orang memilih mengakhiri beban hidup dengan bunuh diri.

Karena tidak tahan dengan cobaan di dunia.

Namun tidak banyak yang tahu, konsekuensi dari bunuh diri ini. 

Berikut penjelasan Rektor UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, Prof I Gusti Ngurah Sudiana.

Baca juga: 5 Fakta dan Data Kasus Bunuh Diri di Gianyar, ES Sempat Pamitan Suami dan APC Cekcok dengan Istrinya

Baca juga: Kasus Bunuh Diri Meningkat, Ketahui Faktor Penyebab dan Cara Mengatasinya

"Ngulah pati itu kan bunuh diri, saya baca di beberapa buku. Terutama di Parasara Dharmasastra.

Orang yang bunuh diri itu adalah orang yang hendak mempercepat kematiannya," jelas guru besar ini kepada Tribun Bali, Minggu (13/12/2020) di Denpasar.

Lebih lanjut, Prof Sudiana, mengatakan orang yang membunuh dirinya sendiri, maka rohnya di alam kegelapan di neraka akan menetap selama 60 ribu tahun.

Bahkan dijelaskan dalam lontar, orang yang menemukan orang bunuh diri, menolongnya, membawa ke kuburan, dan menyelesaikan upacaranya juga ikut mendapatkan dosa akibat bunuh diri ini.

"Demikian menurut lontar Parasara Dharmasastra, jadi dampaknya sangat luar biasa," tegasnya. 

Maka untuk orang yang bunuh diri, mengambil jalan pintas tidaklah menyelesaikan masalah.

"Justru orang yang bunuh diri menambah masalah dari sang hyang atmanya," imbuh Prof. Sudiana.

Bahkan juga menambah dosa bagi orang lain yang berhubungan dengan si pelaku bunuh diri

Ia pun mengingatkan, umat sedharma, khususnya Hindu di Bali.

Agar berpikir 1.000 kali sebelum bunuh diri, karena akan merugikan dirinya sendiri, keluarga, bahkan orang lain.

Baca juga: Dekati hingga Jangan Beri Nasihat, Cara Mencegah Orang Melakukan Tindakan Bunuh Diri

Baca juga: Rey Utami Bebas dari Penjara, Ungkap Nyaris Bunuh Diri dan Jawab Teka-teki Gugatan Cerai Pablo Benua

Mulai dari yang menemukan, melihat, mengupacarai, dan yang mengurus mayatnya hingga ngaben.

Semuanya terkena dosa. 

Pada zaman dahulu, kata dia, seseorang yang bunuh diri tidak boleh diupacarai atau langsung ngaben.

Orang yang bunuh diri harus dikubur terlebih dahulu, atau dalam bahasa Bali dipendem di dalam tanah di setra.

"Bahkan di beberapa desa, seseorang yang bunuh diri maka dikuburkan di tempat berbeda dengan yang meninggal wajar," tegasnya.

Berkaitan dengan bunuh diri ini, yang kerap dianggap jalan keluar dari masalah adalah salah besar.

Prof. Sudiana mengatakan bahwa umat Hindu harus banyak meningkatkan Sradha Bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

Memohon ampunan dan petunjuk Tuhan, agar diberikan jalan keluar dari segala bentuk masalah.

Sehingga tidak mengambil jalan pintas.

"Minimal berkonsultasi dengan orang yang dipercaya, serta mampu memberikan perlindungan.

Baca juga: Cegah Kasus Bunuh Diri Saat Pandemi, Pemerintah Didorong Bentuk Layanan Kesehatan Mental  

Baca juga: Bunuh Diri Perlu Penanganan Segera, Ini Penjelasan dr. Cok Bagus

Bisa memberikan pencerahan sehingga tidak sampai bunuh diri," tegasnya. 

Lanjut Ketua PHDI Bali ini, ada perbedaan besar antara meninggal wajar, ngulah pati, dan salah pati.

"Kalau salah pati, adalah kematian yang tidak disengaja, semisal karena kecelakaan.

Berbeda dengan ngulah pati," jelasnya.

Seseorang yang meninggal salah pati, hanya perlu ngulapin di lokasi kecelakaan. 

Serta ada aturan berbeda saat ngabennya.

"Nah dalam keputusan parisadha, orang yang salah pati dan ngulah pati.

Kini dianggap 'kadi wong mati bener' atau dalam artian diupacarai selayaknya seseorang yang meninggal wajar biasa," sebutnya. 

Perubahan ini dilakukan, karena kalau digunakan landasan lontar-lontar kuno di Bali, atau lontar lama.

Rasanya memberikan perbedaan yang sangat berjarak antara seseorang yang meninggal wajar, salah pati, dan ngulah pati.

Baca juga: Dikenal Punya Banyak Manfaat, Benarkah Kopi Dapat Menurunkan Risiko Bunuh Diri?

Baca juga: Putus Asa hingga Menarik Diri dari Pergaulan, Tanda Orang Ingin Bunuh Diri dan Cara Mengatasinya

Semua ini telah diputuskan dalam pesamuan parisadha, melihat sisi humanismenya.

Hanya saja memang ada banten tambahannya, seperti banten pengulapan, guru piduka, pabersihan, dan upakara sebagainya sesuai aturan atau awig-awig. 

Sehingga dengan banten tambahan pada upacara ngaben ini, maka seseorang yang meninggal tidak wajar rohnya bisa tenang.

Tidak akan diam di tempat ia meninggal.

Dalam keputusan parisadha, seseorang yang ngulah pati atau salah pati seharusnya memang dikubur terlebih dahulu.

Namun ada keluarga yang ingin agar mayatnya segera diaben. 

Perubahan tradisi ini dimaklumi, asal sesuai aturan dan awig-awig yang berlaku, serta disetujui prajuru adat baik di banjar maupun di desa.  

"Sekarang memang ada yang langsung diupacarai, tetapi ada yang langsung dipendem," ujarnya.

Menurut lontar-lontar kuno di Bali, Prof. Sudiana menjelaskan esensi harus dipendem atau dikubur itu tidak diterangkan lebih jauh.

Hanya saja berdasarkan persepsi para pemuka agama, analisanya adalah agar rohnya bisa melihat badan kasarnya (jasad) lebih lama. 

Lontar Yama Purana Tatwa, imbuh dia, menyebutkan bahwa setelah dikubur tiga tahun, baru boleh diupacarai (ngaben) jasad dari kematian akibat ngulah pati itu.

Sehingga jasadnya dapat diam di ibu pertiwi untuk sementara waktu.

Sebelum dibakar dalam upacara ngaben

Jika seseorang yang ngulah pati, tempatnya puluhan ribu tahun di neraka.

Tidak demikian dengan seseorang yang meninggal salah pati.

"Kalau salah pati, layaknya meninggal pada umumnya. Hanya saja ada upacaranya lagi," jelasnya.

Sebab salah pati adalah kematian yang tidak terduga dan tidak bisa ditentukan. 

Sedangkan ngulah pati adalah kematian yang direncanakan dengan membunuh dirinya sendiri.

Hal ini adalah dosa.

Dan banten yang diperlukan juga sangat besar.

"Karena ada banten pecaruan di tempat meninggal, banten pabersihan, pengulapan, dan lain sebagainya," tegas Prof. Sudiana. 

Sementara itu, roh pada seseorang yang meninggal ngulah pati, ataupun salah pati jika tidak diupacarai dengan benar semisal pengulapan.

Menurut beberapa lontar, rohnya diperkirakan bisa berjalan tidak karuan. 

Makanya di bale banjar di Bali itu, dibuatkanlah Pelinggih Pan Balang Tamak.

Kalau ada roh gentayangan atau penasaran, roh ini akan tangkil di pelinggih ini.

Ibaratnya tempat singgah bagi roh tanpa tujuan ini.

Apabila mati wajar atau biasa, rohnya memang tidak jauh dari jasadnya.

Sedangkan jika ngulah atau salah pati, maka rohnya bisa berdiam di lokasi ia meninggal, lalu setelah berapa lama ke sana-ke mari kalau tidak diupacarai.

Bisa mengganggu dan membuat ketidakharmonisan pada alam.

(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved