Penanganan Covid
Ahli Virologi Unud Ini Menilai Kebijakan Pemprov Bali Soal Penggunaan Rapid Test Antigen Terlambat
Pemprov Bali mengeluarkan kebijakan baru mengenai kedatangan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN) ke Bali
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mengeluarkan kebijakan baru mengenai kedatangan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN) ke Bali menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2021.
Kebijakan itu dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Gubernur Bali tentang Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat Selama Libur Hari Raya Natal dan Menyambut Tahun Baru 2021 dalam Tatanan Kehidupan Era Baru di Provinsi Bali.
Melalui SE tersebut, bagi PPDN yang melakukan perjalanan dengan transportasi udara wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif uji swab berbasis PCR minimal 2x24 jam sebelum keberangkatan dan mengisi e-HAC Indonesia.
Sementara, bagi yang melakukan perjalanan memakai kendaraan pribadi melalui transportasi darat dan laut wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif uji rapid test antigen minimal 2x24 jam sebelum keberangkatan.
Baca juga: 6 Fakta Menarik Pria Datangi Resepsi Mantan, Peluk Mempelai Lelaki dan Pengantin Perempuan Histeris
Baca juga: 4 Zodiak Ini Pilih Menghindar Saat Bermasalah dengan Pasangan, Siapa Saja Mereka?
Baca juga: Hanya Tersisa 5 Bulan, Gaung Piala Dunia U-20 di Indonesia Kurang Nyaring
Surat keterangan hasil negatif uji swab berbasis PCR dan hasil negatif uji rapid test antigen berlaku selama empat belas hari sejak diterbitkan.
Penggunaan surat keterangan hasil negatif uji rapid test antigen terbilang baru diterapkan oleh Pemprov Bali karena sebelumnya diterapkan surat keterangan hasil negatif uji rapid test antibodi.
Guru Besar Virologi dan Biologi Molekuler Universitas Udayana (Unud), I Gusti Ngurah Kade Mahardika menilai, penggunaan protokol perjalanan melalui uji rapid test antigen ini sedikit terlambat.
"Jadi agak telat sih protokol ini, agak telat sekali," kata Mahardika saat dihubungi Tribun Bali melalui sambungan telepon, Selasa (15/12/2020) malam.
Mahardika mengaku sudah mengkritisi penggunaan rapid test antibodi sejak dari dahulu, yakni sekitar Maret 2020.
Menurutnya, penggunaan rapid test antibodi sangat rancu sekali dan interpretasinya salah.
"Jadi yang positif antibodi dikarantina, yang negatif dibebaskan. Sebaliknya kan mestinya yang positif antibodi yang negatif virus itu yang semestinya dibebaskan kemana-mana," terangnya.
Dirinya menjelaskan, tes swab berbasis PCR dengan rapid test antigen itu mirip, yakni sama-sama untuk mendeteksi virus, bukan untuk mendeteksi antibodi.
Hanya saja sensitivitas dari rapid test antibodi masih kalah dengan swab test berbasis PCR.
"Yang (rapid test) antigen itu kecuali orang yang sudah sakit berat baru akan kelihatan baru akan bereaksi," terang akademisi Fakultas Kedokteran Hewan Unud itu.
Menurut Mahardika, kebijakan penggunaan swab test berbasis PCR dan rapid test antigen bagi PPDN yang masuk Bali tentu akan berpengaruh terhadap biaya perjalanan.
Biaya swab test dipastikan bakal lebih mahal dari rapid test antigen.
Sementara, rapid test antigen diperkirakan olehnya juga lebih mahal dari rapid test antibodi.
"Kemungkinan biaya rapid test antigen biayanya lebih tinggi dari biaya rapid test antibodi yang pertama dipakai. Nah di sini tentu akan menekan kedatangan wisatawan ke Bali," kata dia.
Oleh karena itu, Mahardika menilai, nantinya PPDN yang bakal mengunjungi Bali tentu memang akan memiliki kepentingan tertentu atau tidak bisa ditunda.
Sementara untuk wisatawan mungkin akan berpikir ulang untuk mengunjungi Bali karena biaya syarat perjalanan menjadi lebih tinggi.
Di sisi lain, sumber daya untuk melakukan tes swab dan rapid test antibodi juga perlu disiapkan di daerah lain.
Misalnya, jika orang dari Lombok yang ingin ke Bali tentu harus ada sumber daya untuk menguji swab PCR maupun rapid test antigen di daerah tersebut.
"Saya tidak tahu apakah masing-masing daerah itu memang sudah ada di sana," terangnya.
Namun bagi Mahardika, sebaiknya Pemerintah memang menutup Bali untuk sementara karena adanya aktivitas virus yang masih sangat tinggi dan bahkan meningkat di berbagai belahan dunia.
"Sebetulnya kan dengan protokol seperti itu kan menutup Bali sebetulnya. Karena yang mau datang ke Bali tentu yang benar-benar punya kepentingan yang tidak bisa ditunda untuk datang ke Bali. Jadi ini situasinya pandemi masih berlangsung, masih ada dan masih berlangsung aktivitas virus," jelasnya.
Bahkan, kata Mahardika, beberapa negara di Eropa seperti Jerman, Inggris, Spanyol dan Italia kembali melakukan lockdown secara ketat.
Oleh karena itu, dirinya meminta agar aspek kesehatan dijadikan sebagai nomor satu, sementara indikator lainnya bisa menyusul berikutnya. (*).
Catatan Redaksi: Mari cegah dan perangi persebaran Covid-19. Tribun Bali mengajak seluruh Tribunners untuk selalu menerapkan protokol kesehatan dalam setiap kegiatan.
Ingat Pesan Ibu: Memakai Masker, Mencuci Tangan, dan Menjaga Jarak