Kisah Perjuangan Ibu-ibu Tukang Suwun, Puluhan Tahun Mengais Rezeki di Pasar Kumbasari Denpasar
Setiap 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Inilah kisah tukang suwun, ibu-ibu tangguh yang saban hari berjuang di Pasar Kumbasari, Denpasar.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Widyartha Suryawan
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Setiap 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Inilah kisah tukang suwun, ibu-ibu tangguh yang saban hari berjuang di Pasar Kumbasari, Denpasar.
Saat sebuah mobil datang membawa barang ke Pasar Kumbasari, tiga orang wanita yang awalnya duduk di bangku panjang depan pintu masuk bergegas menghampirinya dan berkata, “berapa barang yang dibawa?”
Pembawa barang yang seorang laki-laki tersebut mengatakan tiga karung.
Mereka bertiga pun membaginya dan saling membantu menaikkan barang tersebut untuk dijunjung.
Dengan beban di kepala mereka menaiki satu per satu anak tangga di pasar dan membawa barang tersebut kepada pemilik barang.
Sekembalinya dari membawa barang mereka kembali ke bangku panjang.
Baca juga: 10 Kumpulan Ucapan Hari Ibu dalam Bahasa Inggris dan Maknanya yang Meneduhkan Hati
Satu orang membawa beberapa lembar uang pecahan 5000-an dan membaginya secara merata.
Itulah aktivitas biasa yang dilakoni oleh tukang suwun di Pasar Kumbasari Denpasar sejak puluhan tahun silam.
Salah seorang tukang suwun, Wayan Sawit (43) yang diwawancarai Senin (21/12/2020) mengaku dirinya telah menjadi tukang suwun hampir 35 tahun.
Ia yang berasal dari Bangli telah merantau ke Denpasar saat teman-teman seusinya mulai menginjak kelas I SD.
“Saya punya tujuh adik, karena jengah waktu itu tidak punya apa-apa di rumah saya nekat datang ke sini walaupun tidak tau apa-apa. Saya tidak sekolah dan di sini numpang sama bibi yang menikah sama orang Jawa,” aku Sawit yang memiliki dua orang anak.

Anak pertama SMA kelas XII dan anak kedua baru SMP.
Menurut pengakuannya, ia telah menjadi tukang suwun saat ongkos masih Rp 25.
Walaupun suaminya juga sudah bekerja, namun tak cukup untuk biaya sehari-hari dan sekolah anak sehingga dirinya pun harus tetap bekerja sebagai tukang suwun.
“Suami saya sudah kerja sebenarnya sebagai tukang panggul di Pidada, namun itu tidak cukup, sehingga saya harus ikut bekerja,” katanya.
Sebelum berangkat ke pasar, ia bangun pukul 05.00 Wita, lalu memasak, sembahyang dan saat waktu menunjukkan pukul 08.00 Wita, ia pun datang ke pasar.
Baca juga: Begini Awal Mula Sejarah Hari Ibu, Ditandai Peristiwa Kongres Perempuan Indonesia
Di pasar biasanya dirinya bekerja hingga pukul 15.00 Wita atau kadang pukul 16.00 Wita jika ada permintaan lagi.
Namun, dikarenakan pandemi Covid-19, penghasilannya sebagai tukang suwun pun berkurang.
Dalam waktu normal, biasanya dalam sehari mampu mendapat Rp 60 ribu hingga Rp 70 ribu.
Akan tetapi, akibat pandemi paling banyak ia hanya mendapat upah Rp 25 ribu dalam sehari.
“Bahkan karena Corona, suami saya kadang kerja kadang tidak. Ya mau tidak mau saya harus gali lubang tutup lubang untuk kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Untuk ongkos sekali menjunjung barang biasanya ia mendapat Rp 5 ribu, kadang juga ada yang memberinya Rp 10 ribu.
Baca juga: Kumpulan Ucapan Selamat Hari Ibu, Bisa Untuk Disampaikan Langsung atau Dijadikan Status di Sosmed
Saat hari ibu ini, tak banyak harapan yang dia inginkan, hanya ingin anaknya bahagia dengan kehidupan yang lebih baik.
Tukang suwun lain, Siti Masita (50) juga memiliki pengalaman yang hampir sama dengan Sawit yang sama-sama menjadi tukang suwun saat kecil dan tak mengenyam bangku sekolah.
“Dulu sebelum ada Hari Ibu saya sudah jadi tukang suwun,” kata perempuan asli Jawa yang sudah menikah dengan orang Bali ini.
Bahkan ia yang kini sudah ditinggal suaminya harus menghidupi anak-anaknya dengan menjadi tukang suwun.
Ia hanya berharap agar pandemi ini segera berakhir dan bisa mendapat penghasilan lebih dari pekerjaan yang dilakoninya.
Di Pasar Kumbasari ini mereka bekerja bertujuh orang dan selalu berbagi langganan dan barang yang akan dipanggul agar semua sama-sama jalan. (*)