Serba Serbi
Pantangan Dalam Persetubuhan Pada Sistem Perkawinan Hindu Agar Anak Suputra
Bila hubungan dilakukan bertentangan dengan norma yang ada. Maka niscaya anak yang dilahirkan akan berwatak tidak baik.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan pada bulan mati (Tilem), penanggal atau panglong kepat belas.
Maupun penanggal atau penglong kedelapan (tiap paksa), maka ya benar-benar melakukan brahmacarya.
Tidak dekat-dekat wanita, nama bratha yang demikian itu disebut amrtasnataka (kepala keluarga yang hidup langgeng penuh kemegahan).
Aturan atau etika dalam melakukan hubungan suami istri itu ada untuk melahirkan anak yang suputra.
Dalam agama Hindu ada beberapa pantangan hari yang tidak boleh melakukan persetubuhan.
Bila persetubuhan dilakukan didasari nafsu birahi laki-perempuan maka disebut dengan istilah patemon pengantenan atau patemon madhana.
Yang dimaksud adalah ragha wyamoha (badan kotor).
Maka hasil dari pertemuan itu akan memunculkan kama rasa yang leteh.
Itu sebabnya bagi mereka yang telah melakukan hubungan suami istri, bila tidak membersihkan diri dan keramas.
Maka yang bersangkutan hendaknya jangan melakukan suatu persembahyangan atau ke merajan.
Bila pantangan ini dilanggar, niscaya anak yang akan dilahirkan senantiasa dipengaruhi oleh kama dan artha yang selanjutnya melahirkan kala.
Penuh dengan sifat layaknya bhuta kala.
Untuk menghindari akan hal demikian, maka diperlukan suatu hubungan suami istri yang didasari atas dharma.
Dalam ajaran Catur Paramartha, disebutkan dharma, artha, kama, dan moksa.
Jadi dharma, artha, dan kama erat kaitannya untuk mencapai moksa.
Moksa atau kesempurnaan di sini maksudnya adalah kesempurnaan bagi anak atau sentana yang diwujudkan lebih lanjut disebut sentana yang suputra. (*).