Serba serbi

Kajeng Kliwon Enyitan Rahinan yang Disakralkan, Ini Bantennya Dalam Hindu

Dalam Hindu Bali ada hari-hari tertentu, yang memang disakralkan dan dikeramatkan. Di antaranya Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, yang merupakan rahinan

Tribun Bali/Putu Supartika
Ilustrasi banten 

Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dalam Hindu Bali ada hari-hari tertentu, yang memang disakralkan dan dikeramatkan.

Di antaranya Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, yang merupakan rahinan gumi, dan kerap menjadi hari suci bagi masyarakat Hindu di Bali. 

Hari ini, Jumat (25/12/2020) bertepatan dengan Kajeng Kliwon Enyitan.

Jro Mangku Ketut Maliarsa, menjelaskan bahwa Kajeng Kliwon merupakan perhitungan perpaduan antra Tri Wara deng Panca Wara.

Baca juga: Nunas Tamba di Pura Goa Peteng, Tempat Melukat yang Ada di Dasar Goa yang Sangat Gelap

Baca juga: Nunas Tamba, Begini Prosesi dan Upakara Melukat di Pura Campuhan Windhu Segara

Baca juga: WIKI BALI - Mengenal Lebih Dekat Pura Campuhan Windhu Segara Denpasar, Wisata Religi Melukat

"Dari Tri Wara, terdiri dari Padah, Beteng, Kajeng. Kemudian Kajeng adalah bagian ketiga dari Tri Wara," sebutnya kepada Tribun Bali.

Dari Panca Wara, di antaranya Umanis, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. 

Kliwon menjadi bagian kelima dari Panca Wara.

"Perpaduan ini merupakan kekuatan energi alam semesta, atau bhuana agung dengan bhuana alit atau alam raga manusia," katanya. 

Baca juga: Wisata Religi, Sembuh Setelah Melukat di Pancoran Solas Taman Mumbul Sangeh

Baca juga: Cerita Pura Geger, Tempat Melukat dan Metamba untuk Memohon Kesembuhan Hingga Keturunan

Baca juga: Cerita Pura Geger, Tempat Melukat dan Metamba untuk Memohon Kesembuhan Hingga Keturunan

Kajeng Kliwon, jelas jro mangku, datangnya setiap 15 hari sekali. Dan ada dua, yakni Kajeng Kliwon Uwudan dan Kajeng Kliwon Enyitan.

Kajeng Kliwon Uwudan adalah Kajeng Kliwon setelah bulan purnama. 

Kajeng Kliwon Enyitan, adalah Kajeng Kliwon setelah bulan mati.

"Kajeng Kliwon disebut rahinan keramat. Atau dalam Bahasa Bali tenget, karena para bhuta kala turun untuk menganggu orang. Khususnya orang yang tidak melaksanakan ajaran Dharma atau kebenaran," tegasnya.

Sehingga harus diseimbangkan atau dinetralisasi dengan menghaturkan 2 segehan manca warna di Natar sanggah untuk nyomiang Sang Kala Bhucari.

Di natah paumahan. Serta segehan ini untuk nyomiang Sang Dhurga Bhucari.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved