Berita Bali
Pemprov Bali Dorong Desa Adat Buat Pararem Pengelolaan Sampah, Ditangani dengan Pilah, Kumpul & Jual
I Made Teja menuturkan, melalui regulasi ini sampah yang timbul di tingkat desa adat dan desa atau kelurahan diharapkan hanya residunya saja
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali telah mengeluarkan sejumlah kebijakan sebagai upaya dalam mengatasi persoalan sampah di Pulau Dewata.
Salah satu kebijakan tersebut tertuang melalui Peraturan Gubernur (Pergub Bali) Nomor 47 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Plastik Berbasis Sumber.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, I Made Teja menuturkan, melalui regulasi ini sampah yang timbul di tingkat desa adat dan desa atau kelurahan diharapkan hanya residunya saja yang sampai ke TPA.
"Memang sudah ada beberapa desa yang melaksanakan ini walaupun belum secara keseluruhan," kata Teja dalam Webinar Refleksi Program Plastik Responsible dan Inovasi Pengembangan Bank Sampah di Bali, Kamis (31/12/2020).
Baca juga: Kebijakan Pembatasan Timbulan Sampah di Bali Diklaim Mampu Turunkan Sampah Plastik di TPA
Teja menuturkan, sesuai dengan arahan Gubernur Bali pihaknya akan melakukan kerja sama dengan Majelis Desa Adat (MDA) dan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali untuk mengimplementasikan regulasi tersebut.
"Ini sudah berproses ini. Mudah-mudahan kita terus bisa bergerak," harap Teja dalam webinar bertajuk Crooss Generation Innovation for Sustainability itu.
Menurutnya, sesuai dengan konsep yang pihaknya sampaikan ke desa adat melalui MDA dan Dinas PMA Provinsi Bali, diharapkan desa adat membuat pararem untuk pengelolaan sampah.
Teja mengaku sudah menyiapkan desain pararem tersebut sehingga bisa dengan mudah dilakukan pengelolaan di setiap desa adat.
Selain itu, pihak desa dinas atau kelurahan diharapkan mengelola sampah dengan baik.
Dengan begitu ada keterpaduan antara pararem yang dibuat oleh desa adat dengan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh desa dinas atau kelurahan.
Teja menuturkan, regulasi ini memang memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dibandingkan dengan kebiasaan masyarakat sebelumnya.
Melalui regulasi ini pihaknya mengharapkan ada perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Jika sampah ditangani dengan sistem kumpul, angkut kemudian dibuang, kini menjadi pilah, kumpul dan dijual.
"Nah ini di Pergub 47 ini sangat beda dengan sebelum-sebelumnya," jelasnya
Baca juga: Penghujung Tahun 2020, Pantai Kuta Terlihat Sepi, namun Sampah Kiriman Tersebar Penuhi Bibir Pantai
Dalam regulasi ini, lanjut Teja, mempunyai beberapa tujuan, yakni mewujudkan budaya bersih, meningkatkan kualitas lingkungan hidip dan meningkatkan kesehatan masyarakat.
Selain itu juga bertujuan untuk menjadikan sampah agar bernilai ekonomis serta meningkatkan peran desa adat dan desa/keluarahan dalam pengelolaan sampah.
Melalui berbagai upaya ini, Teja berharap ada perubahan dalam mekanisme pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga.
Dengan adanya perubahan mekanisme pengelolaan sampah ini, keberadaan berbagai TPA di Bali diharapkan bisa berumur panjang.
"Walaupun kita sekarang ada kendala-kendala dalam persoalan ini (dan) dengan masyarakat karena belum semua masyarakat melakukan pengelolaan seperti harapan kita," tuturnya.
Maka dari itu, pihaknya akan mendorong terus agar masyarakat mampu memilah sampah dari rumah tangganya sendiri.
Hal ini dilakukan melalui keterlibatan Pembina Kesehatan Keluarga (PKK), pemuda-pemudi yang ada di desa dan tokoh masyarakat diharapkan memberilan contoh agar sampah bisa dikelola dengan baik.
Sampah Tak Bisa Tertangani
Seperti diberitakan Timbulan sampah di Bali nampaknya dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan, yakni bisa mencapai antara 2.000 sampai 2.400 ton per hari.
Bahkan timbulan sampah tersebut tidak semuanya bisa diatasi oleh instansi yang menangani permasalahan sampah di kabupaten dan kota se-Bali.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, I Made Teja mengungkapkan, tidak lebih dari 50 sampai 51 persen jumlah sampah yang timbul tersebut bisa dikola oleh pemerintah daerah.
Hal itu dikarenakan kurang lebih 45 sampai 50 persen sampah tersebut ada di lingkungan masyarakat.
"Nah ini yang menjadi tugas berat kita sekarang
Gimana sampah-sampah yang belum terkelola dengan baik ini (yang) ada di beberapa kawasan kita, di pantai laut, sungai di kawasan danau dan sebagainya dan sekitar rumah tangga kita ini menjadi persoalan yang harus kita pecahkan," kata Teja.
Hal ini Teja ungkapan saat menjadi salah satu pembaca dalam Webinar Refleksi Program Plastik Responsible dan Inovasi Pengembangan Bank Sampah di Bali, Kamis (31/12/2020).
Di sisi lain, salah satu kendala dari pemerintah dalam penanganan sampah yakni mengenai keberadaan TPA.
Di Bali sendiri terdapat delapan TPA yang beroperasi, yakni TPA Regional Sarbagita (Denpasar), TPA Temesi (Gianyar) TPA Sembung Gede (Tabanan), TPA Sente (Klungkung), TPA Bangklet (Bangli), TPA Linggasana (Karangasem), TPA Bengkala (Buleleng) dan TPA Peh (Jembrana).
Dari delapan TPA tersebut saat ini mengalami dilema karena kondisinya semakin penuh dan bisa terbakar di musim-musim tertentu.
Sejumlah TPA yang kondisinya penuh dan sempat terbakar yakni TPA Temesi, TPA Sembung Gede, TPA Sente, TPA Bengkala dan TPA Peh.
Hal itu disebabkan karena sampah yang berakhir ke TPA belum sepenuhnya bisa dikelola dengan maksimal.
Tak berhenti sampai di sana, permasalahan penanganan sampah juga memicu adanya TPA atau TPS ilegal yang dilakukan oleh masyarakat.
Situasi ini, menurut Teja, tidak lepas dari adanya keterbatasan semua pihak dalam mengatasi persoalan sampah.
Guna meminimalisir hal tersebut, Teja menuturkan bahwa di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini pihaknya berkolaborasi dengan kabupaten/kota untuk melakukan penataan di TPA.
"Di tengah kondisi Covid-19 ini kita melakukan penataan-penataan di TPA yang memang dimungkinkan nuntuk dilakukan penataan," jelasnya. (*)