Berita Badung

Seorang Pria Bunuh Diri di Jembatan Suluban Pecatu, Sempat Kirim Pesan WA kepada Kekasihnya

Seorang pria usia 26 tahun diduga mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri di jembatan Suluban, Pecatu, Kuta Selatan, Kabupaten Badung. 

Penulis: Zaenal Nur Arifin | Editor: Widyartha Suryawan
Istimewa/Humas Basarnas Bali
Proses evakuasi Tim SAR terhadap DS yang melakukan bunuh diri di jembatan Suluban, Pecatu, Kuta Selatan, Badung. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Zaenal Nur Arifin

TRIBUN BALI.COM, MANGUPURA - Seorang pria usia 26 tahun diduga mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri di jembatan Suluban, Pecatu, Kuta Selatan, Kabupaten Badung. 

Kecurigaan itu muncul ketika DS menghubungi kekasihnya melalui pesan singkat di WA yang mengatakan akan mengakhiri hidupnya. 

Pada Sabtu, 2 Januari 2021 pukul 20.40 Wita sepeda motor target ditemukan di atas jembatan Suluban

"Korban sudah meninggalkan rumah yang berlokasi di Perumahan Taman Griya menggunakan sepeda motor. Sejak hari Kamis 31 Desember 2020 pukul 14.00 Wita menggunakan sepeda motor," ungkap Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan Denpasar (Basarnas Bali), Gede Darmada, Minggu (3/1/2021).

Basarnas Bali menerima informasi dari keluarga korban Sabtu (2/1/2021) malam pukul 21.10 Wita. 

Sebanyak 4 personil langsung diberangkatkan ke lokasi kejadian. 

Setibanya di lokasi, tim melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan Bendesa Adat Pecatu, pecalang serta pihak keluarga. 

Selanjutnya tim SAR gabungan menyisir di tempat-tempat yang dicurigai. 

"Setelah kira-kira satu jam pencarian, akhirnya DS ditemukan dalam kondisi meninggal dunia," terang Darmada. 

Jenazahnya ditemukan di sebelah timur jembatan.

Selanjutnya korban di evakuasi menuju RS Sanglah dengan menggunakan ambulans BPBD Badung.

Adapun proses pencarian turut melibatkan unsur SAR dari Basarnas Bali, BPBD Badung, Babinkamtibmas Pecatu, Babinsa Desa Pecatu, Linmas Desa adat Pecatu, Lifeguard, Pecalang Desa Pecatu, keluarga korban serta masyarakat setempat.

Angka Bunuh Diri di Bali Meningkat Signifikan
Angka kematian akibat bunuh diri pada dua puluh tahun belakangan di Provinsi Bali dari Tahun 2000 hingga 2020 mengalami peningkatan yang signifikan.

Hal tersebut mendorong, Prof Dr dr Luh Ketut Suryani, SpKJ (K) yang selaku psikiater senior di Bali yang juga pendiri dan penganggas Suryani Institute For Mental Health, membuat buku dengan judul Hidup Bahagia Perjuangan Melawan Kegelapan.

Ia tak sendiri menulis buku tersebut, namun bersama dengan psikiater muda lainnya, Cokorda Bagus Jaya Lesmana.

Dalam buku yang tebalnya 148 halaman diuraikan kasus bunuh diri di Bali meningkat signifikan sejak 2000, data tersebut diambilnya melalui surat kabar.

Baca juga: POPULER BALI: Sisi Gelap Pelaku Pembunuhan Teller Bank | Bentrok Antarwarga di Sesetan

Baca juga: POPULER BALI Pria di Denpasar Meninggal Usai Berkencan| Biofarma Bakal Kirim Vaksin Covid-19 ke Bali

Baca juga: POPULER BALI: Polisi Selidiki Pelaku Pembunuhan Pegawai Bank | Pariwisata Bali Makin Kelabu

Sebagian besar dari mereka benar-benar ingin meninggal dengan cara gantung diri.

Bagi Suryani sendiri bunuh diri merupakan masalah yang kompleks. Itu menjadi tanggung jawab bersama bukan satu orang atau kelompok.

“Pemerintah harus menaruh perhatian khusus dengan memprogramkan hal ini dalam kinerjanya,“ katanya.

Menurutnya penanganan dan penyelesaiannya pun memerlukan pendekatan holistic, pendekatan biopsiko spirit-sosial budaya.

Pendekatan yang memandang manusia tidak hanya terdiri dari fisik dan mental saja, tetapi juga terdiri atas spirit dan dipengaruhi oleh sosio budaya yang membesarkannya serta kebesaran dari Tuhan.

Jika dilihat jumlah kasus bunuh diri tertinggi, yaitu pada tahun 2004 mencapai sekitar 207 kasus boleh dikatakan masyarakat Bali dalam keadaan sakit.

Maka dari itu keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja Langkah cepat diperlukan untuk menyelamatkan muncul-muncul korban-korban baru. 

Salah satunya dengan tidak tindakan nyata dari pemerintah, kiranya perlu digerakkan oleh masyarakat untuk peduli dengan dirinya, peduli dengan keluarga, kalau tidak ingin banyak ada korban.

“Penerangan dan pembinaan pada masyarakat dapat dilakukan oleh psikiater, psikolog, sosiolog, agamawan, pendidik, seniman, media cetak dan elektronika. Dan hal tersebut sangat berperan membantu masyarakat akan pentingnya menumbuhkan keberanian untuk menghadapi kehidupan ini,” tutupnya.

Berikut angka kematian akibat dari bunuh diri pada 20 tahun (2000-2020) di Provinsi Bali menurut data dari Suryani Institute For Mental Health.

Tahun 2000 terdapat 106 kasus,
Tahun 2002 sebanyak 91 kasus,
Tahun 2002 sebanyak 79 kasus,
Tahun 2003 sebanyak 103 kasus,
Tahun 2004 sebanyak 207 kasus,
Tahun 2005 sebanyak 109 kasus,
Tahun 2006 sebanyak 155 kasus,
Tahun 2007 sebanyak 145 kasus,
Tahun 2008 sebanyak 103 kasus,
Tahun 2009 sebanyak 146 kasus,
Tahun 2010 sebanyak 118 kasus,
Tahun 2011 sebanyak 119 kasus,
Tahun 2012 sebanyak 109 kasus,
Tahun 2013 sebanyak 88 kasus,
Tahun 2014 sebanyak 119 kasus,
Tahun 2015 sebanyak 117 kasus,
Tahun 2016 sebanyak 92 kasus,
Tahun 2017 sebanyak 79 kasus,
Tahun 2018 sebanyak 82 kasus,
Tahun 2019 sebanyak 60 kasus,
Tahun 2020 sebanyak 65 kasus (per 11 Desember 2020).

(*)

DISCLAIMER: 

Berita atau artikel ini tidak bertujuan menginspirasi tindakan bunuh diri.

Pembaca yang merasa memerlukan layanan konsultasi masalah kejiwaan, terlebih pernah terbersit keinginan melakukan percobaan bunuh diri, jangan ragu bercerita, konsultasi atau memeriksakan diri ke psikiater di rumah sakit yang memiliki fasilitas layanan kesehatan jiwa.

Berbagai saluran telah tersedia bagi pembaca untuk menghindari tindakan bunuh diri.

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved