Serba Serbi

Layaknya Orang Mati, Ini Esensi Mesangih Dalam Ajaran Hindu di Bali 

Mesangih adalah satu di antara upacara yadnya, tepatnya Manusa Yadnya yang masih dilakukan umat Hindu hingga saat ini

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti. 

Sebab dalam kehidupan, memang ada makhluk lain yang suka menggoda.

Dari makhluk inilah perlu dijaga agar yang mesangih tetap selamat.

“Kalau ada yang belum potong gigi, kemudian meninggal, sebenarnya tidak boleh potong gigi lagi,” sebutnya.

Namun banyak orangtua yang merasa masih berutang, apabila anaknya meninggal sebelum potong gigi.

Walau demikian, mantan wartawan ini menjelaskan ada suatu cara agar orang yang meninggal mesangih tanpa ngeludin wangke.

Baca juga: Makna Alam Semesta di Banten Suci Dalam Upakara Umat Hindu di Bali

Baca juga: Inti dari Purnama, Apa yang Harus Dilakukan Umat Hindu Saat Purnama Kadasa?

Sehingga saat seorang anak meninggal, orangtuanya yang harus menjadi sangging.

Lalu menyangih gigi sang mayat tidak boleh dengan kikir besi, melainkan bunga tunjung yang belum mekar. 

“Orangtua almarhum harus berada berdiri di atas padi, sebagai simbol Dewi Sri yang memberkati anak itu,” tegasnya.

Di sisi lain, bagi masyarakat yang tidak mempunyai uang bisa memotong gigi dengan konsep mesangih massal di gria-gria, sehingga tidak memerlukan banyak biaya.

Jangan sampai esensi mesangih ini kalah dengan konsep hura-hura demi terlihat wah saja, sebab banten potong gigi pun tidak besar. 

“Bagi mereka yang tidak punya uang, bisa menggunakan ayaban terkecil. Karena ayaban tidak menentukan upacara itu, ayaban hanya sebagai casing saja,” tegas beliau.

Apabila tidak punya biaya, bisa dengan ayaban tumpang lima, bahkan bisa dengan ayaban pejati saja.

“Tetapi inti orang potong gigi, harus ada yang namanya banten Sesayut Semara Ratih.  Banten Bale Gading itu intinya. Tidak perlu pregembal atau bebangkit, kalau tidak punya uang,” tegas beliau. 

Sesayut Semara Ratih ini, karena anak dari kecil akan remaja lalu dewasa.

“Menuju dewasa anak itu diharapkan mendapatkan kekuatan, konsep semara adalah bahasa cinta. Sehingga dia nantinya akan punya rasa ketertarikan antara manusia. Supaya jangan tertarik sesama jenis,” imbuhnya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved