Citizen Journalism
Perlukah Pertimbangkan Usia Pesawat dalam Perjalanan Udara? Ini Kata Seorang Traveller
Dalam setiap terjadi peristiwa kecelakaan pesawat terbang, beberapa hal yang langsung menjadi pertanyaan publik adalah apakah nama maskapainya, jenis
Pesawat yang sudah berumur dan tetap diizinkan terbang bukan hanya di Indonesia. Sejumlah maskapai berbiaya murah di Eropa juga banyak menggunakan pesawat yang gaek. Salah satunya maskapai berbiaya murah dari Spanyol, Vueling Airlines.
Dalam sebuah penerbangan dari kota Roma Italia ke Paris Prancis dengan Vueling Airlines tahun lalu, penulis mendapat pesawat yang gaek, sudah beroperasi lebih dari 15 tahun.
Alhamdulillah, penerbangan lancar dan baik-baik saja. Hanya saja interior pesawat yang terasa sangat kuno.
Meski paham bahwa usia pesawat tidak mempengaruhi risiko sebuah keselamatan penerbangan, namun sebagai seorang penumpang pesawat dan awam dengan dunia penerbangan, saya tetap lebih nyaman jika saat terbang dapat pesawat baru.
Karena itu, setiap akan terbang selalu memastikan jadwal penerbangan saya akan menggunakan pesawat jenis apa dan bila memungkinkan dari website maskapai saya kepoin (jika sudah tersedia) registrasi pesawatnya.
Sekali lagi ini adalah pendapat dan sikap pribadi saya yang awam dan tidak bisa dijadikan rujukan para penumpang pesawat terbang. Misalnya, saat akan terbang dari Jakarta ke Bali dengan maskapai Garuda Indonesia, saya cenderung memilih jadwal yang menggunakan pesawat berbadan lebar (double isle) daripada yang single isle.
Saya tidak tahu apakah kenyataan sekarang berubah, karena saya sudah 10 bulan sejak pandemik Covid tidak terbang.
Seperti diketahui, selain armada Boeing 737-800 NG, Garuda Indonesia juga menggunakan jenis pesawat A330-300, A330-200, dan Boeing B777 untuk rute Jakarta-Denpasar.
Apa alasan saya? Sekali lagi ini subjektif dan tidak bisa dijadikan acuan, lebih nyaman saja terbang dengan pesawat besar.
Begitu pula dengan usia pesawat. Saya juga lebih nyaman jika terbang dan mendapatkan pesawat yang lebih baru. Misalnya, saat terbang dengan Garuda dan naik 737-8, jika mendapatkan registrasi Mama (PK-GM...) atau November (PK-GN...) merasa lebih nyaman daripada mendapatkan registrasi Echo (PK-GE...) atau Fanta (PK-GF...) yang kemungkinan umur pesawatnya lebih tua.
Sikap ini tidak terkait dengan risiko penerbangan, hanya terkait subjektivitas kenyamanan saya sebagai penumpang.
Pun, saat terbang ke luar negeri, saya cenderung memilih maskapai yang mengoperasikan armada pesawat dengan usia yang muda. Tentu saja setelah mempertimbangkan aspek harga yang kompetitif (maksudnya murah hehe).
Juga cenderung memilih maskapai yang berdasarkan rating Sky Trax adalah maskapai berbintang lima, atau paling tidak bintang empat.
Maskapai besar dunia seperti Singapore Airlines (SQ) dan Qatar Airways (QR) adalah dua dari sedikit maskapai dunia berbintang lima yang konsisten merevitalisasi dan meremajakan armada pesawatnya. Rata-rata usia pesawat yang dioperasikan kedua maskapai tersebut adalah lima tahun. Dan SQ serta QR adalah dua maskapai dunia yang memilki reputasi keselamatan penerbangan yang sangat baik.
Kembali kepada tragedi SJ182, kita tentu harus menunggu hasil investigasi KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) untuk mengetahui pasti apa penyebab jatuhnya Sriwijaya Air PK-CLC.
Dan sudah selayaknya kita mendoakan seluruh korban mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT, keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan, dan semoga kecelakaan SJ182 menjadi tragedi penerbangan terakhir di Indonesia. (tofan.mahdi@gmail.com)
*) Tofan Mahdi, seorang business traveller dan penulis buku “Pena di Atas Langit”.