Kejanggalan Penerbangan Sriwijaya Air SJ 182 yang Sempat Dikandangkan 9 Bulan, Diduga Keluar Jalur
Ada dugaan pesawat Sriwijaya PK-CLC yang sempat dikandangkan sembilan bulan keluar dari jalurnya saat terbang menuju Pontianak pada Sabtu siang,
Pada peta tersebut, fase oleng dan jatuh tampak saat pesawat sempat kehilangan arah saat menuju Abasa.
Baca juga: Operasi SAR Sriwijaya Air Terkendala Cuaca Buruk, Ini yang Terjadi Pada Penyelam
Alih-alih berbelok ke arah timur laut posisi titik Abasa, ia justru sempat berbelok ke arah barat jalur normal dan kemudian tak lama kembali ke timur, dan jatuh.
Pada saat membelok ini, ketinggian pesawat menurun dari 3.322 meter di atas permukaan laut (mdpl), ke posisi 2.476 meter dalam waktu 10 detik.
Dugaan disorientasi
Dari data yang sama, apabila digambarkan dalam bentuk tiga dimensi seperti video di bawah menggunakan data ketinggian pesawat, maka akan tampak arah jalur pesawat yang tak beraturan saat oleng dan jatuh.
Gerry memperkirakan, sang pilot mengalami disorientasi. Meski demikian, ia menjelaskan, hal ini bersifat dugaan dan perlu dicocokkan dengan data penerbangan dari pesawat. Terlebih, kecelakaan pesawat tidak hanya terjadi karena satu faktor penyebab.
"Ada kemungkinan disorientasi atau human factors. Tapi saya juga tidak bisa memastikan kapan disorientasi dimulai," kata Gerry.
"Analogi disorientasi itu kalau jalan di ruangan gelap dan mata ditutup, kita berpikir ini tegak tapi ternyata miring, berpikir naik tapi ternyata turun. Sekalipun pilot senior bisa disorientasi."
Mengutip lama Federation Aviation Administration, disorientasi ruang terjadi karena ketidakmampuan tubuh untuk mengidentifikasi kondisi sekitar saat terbang.
Gangguan sistem keseimbangan tubuh bisa terjadi karena adanya gangguan sensor dan ilusi.
Tiga rangsangan sensorik yang berperan membentuk keseimbangan tubuh di antaranya penglihatan, saraf vestibular di telinga bagian dalam, dan proprioception atau persepsi rangsangan untuk mengetahui posisi tubuh.
Orientasi ruangan saat terbang sulit dicapai, tergantung dari arah, kekuatan, dan frekuensi stimulus ketiga sensor. Jika ketiganya tidak bekerja dengan baik, maka akan terjadi konflik sensorik yang menyebabkan otak tidak bisa mengidentifikasi arah dan posisi.
"Itu kenapa saat terbang harus mengandalkan instrumen dan manual," katanya.
Statistik FAA menunjukkan sebanyak 5% hingga 10% kecelakaan pesawat terjadi karena disorientasi dan mayoritas mengakibatkan korban jiwa.
Disorientasi pernah dialami sang pilot Ethiopian Airlines 409 tipe Boeing 737-800 yang jatuh di Beirut, Lebanon pada 2010 silam.