Berita Bali

Harga Kedelai Impor Naik, Profesor I Wayan Windia: Segera Implementasikan Konsep Kemandirian Pangan

"Kalau saja harga kedele terus bisa bertahan Rp. 10.000 atau lebih per kg, maka petani Indonesia akan terangsang untuk berproduksi."

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Noviana Windri
Tribun Bali/I Wayan Eri Gunarta
Profesor I Wayan Windia 

Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kenaikan harga kedelai di Amerika Serikat mengakibatkan perajin tahu dan tempe di Indonesia kelabakan.

Pasalnya, harga kedelai di dalam negeri juga ikut melonjak.

Hal ini disebabkan karena bahan baku tahu dan tempe masih berasal dari kedelai impor.

Menyikapi hal tersebut, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud), I Wayan Windia menilai, Pemerintah harus segera mengimplementasikan konsep kemandirian pangan, khususnya untuk bahan makanan pokok.

Upaya itu dapat dilakukan dengan memberikan harga yang layak bagi petani.

Baca juga: Jokowi Peringatkan Agar Hati-hati, Indonesia Masih Banyak Impor Pangan Mulai Kedelai Hingga Gula

Baca juga: Harga Kedelai Impor Naik Tinggi, Pengusaha Tempe di Badung Ini Tak Terpengaruh

Baca juga: Warganya Menggantungkan Hidup dari Pembuatan Tempe Tahu, Perbekel Sulang Harap Harga Kedelai Normal

"Kalau saja harga kedele terus bisa bertahan Rp. 10.000 atau lebih per kg, maka petani Indonesia akan terangsang untuk berproduksi. Dahulu mereka tersisih dan petani tidak mau menanam kedele. Kenapa? Karena harganya dikalahkan oleh harga kedele impor yang ditanam dengan bibit rekayasa genetika," jelas Windia dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tribun Bali, Senin 18 Januari 2021.

Menurut Windia, kasus kenaikan harga kedelai di Amerika Serikat memang turut dirasakan sampai ke Tanah Air. Harga kedele di dalam negeri segera juga melonjak dari Rp 7500/kg menjadi Rp. 10.000/kg yang mengakibatkan perajin tahu dan tempe langsung menjerit.

"Mereka menyatakan mogok. Tenaga kerja banyak yang terlempar ke kancah pengagguran. Konsumen juga menjerit karena harga makanan pokoknya melonjak," kata Windia.

Windia mengungkapkan, hal ini diakibatkan karena negara masih bergantung dari produksi pertanian negara lain.

"Ini baru kasus kedele untuk tahu dan tempe. Bagaimana kalau saatnya yang naik adalah harga tepung terigu, bawang putih, gula, dan beras? Jelaslah, kita sama sekali tidak ada potensi untuk tanaman gandum. Oleh karenanya pemilik pabrik roti akan berontak. Untuk komoditas bawang putih, gula, dan beras, tentu saja tidak bisa segera kita produksi. Meskipun kita punya potensi," jelasnya.

Selama ini, kata Windia, Indonesia telah membesarkan petani yang ada di luar negeri, yakni dengan mengimpor produk-produknya dan merasa nyaman dengan harga yang agak murah.

Dikarenakan sudah sangat bergantung, meski dengan harga yang mahal pun tetap saja kita meng-import demi kebutuhan pengrajin dan masyarakat. 

Akibatnya, harga produk pertanian di Indonesia juga menjadi sangat rendah dan tidak sesuai dengan nilai input yang dipergunakan. Kondisi ini mengakibatkan petani banyak sekali sudah menjual-jual lahan pertaniannya.

"Di Bali saja, konversi lahan sawah mencapai 2800 ha/tahun. Kiranya dapat dibayangkan, kalau saat ini kita tidak memiliki sawah untuk menanam kedele, padi, bawang putih, dan tebu. Yang ada hanya hutan beton. Lalu, dapatkah kita menanam tanaman yang kita butuhkan? Nah, pada saat seperti itulah kerusuhan sosial akan terjadi," kata Windia.

Menurut Windia, banyak pengamat yang mengatakan bahwa ada baiknya masyarakat bersiap untuk membeli produk pertanian dengan harga yang menguntungkan petani.

Menurutnya, petani tidak perlu diberikan subsidi input, melainkan dirinya meminta agar masyarakat membeli produk dengan harga yang menggairahkan petani.

"Subsidi petani diberikan secara langsung. Tidak perlu via pabrik pupuk, via pabrik pestisida, via bansos, via hibah dan lain-lain. Subsidi input tampaknya hanya lebih banyak menguntungkan para pengusaha dan menjaga agar kaum birokrasi memiliki proyek/pekerjaan," paparnya. (*)

Baca juga: Kedelai Mahal Ukuran Tahu & Tempe Makin Kecil, Produsen di Bali Menjerit: Asal Usaha Bisa Jalan Saja

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved