Berita Bali

MDA Bali Minta Pelarangan Ogoh-ogoh Serangkaian Nyepi Tak Jadi Polemik, Sebut Kesehatan Alasan Utama

 "Arak-arakan ogoh-ogoh ditiadakan mestinya di masyarakat tidaklah menjadi polemik lagi. Karena mengapa? Bahwa kita dalam suasana pandemi,

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/I Wayan Sui Suadnyana
Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet saat ditemui awak media usai konferensi pers di kantornya, Sabtu, 23 Januari 2021 

Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB) tentang Pelaksanaan Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1943 di Bali.

SKB yang dikeluarkan pada 19 Januari 2020 itu salah satunya melarang adanya pengarakan ogoh-ogoh karena masih berada dalam situasi pandemi Covid-19.

Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet menilai, pelarangan ogoh-ogoh yang ditiadakan serangkaian Hari Raya Nyepi pada Maret 2021 mendatang semestinya tidak menjadi polemik di masyarakat.

 "Arak-arakan ogoh-ogoh ditiadakan mestinya di masyarakat tidaklah menjadi polemik lagi. Karena mengapa? Bahwa kita dalam suasana pandemi, dimana Covid-19 ini semakin mengganas, semakin mengkhawatirkan," kata Sukahet saat ditemui awak media usai konferensi pers di kantornya, Sabtu, 23 Januari 2021.

Baca juga: Pengarakan Ogoh-ogoh Menjelang Nyepi 2021 Ditiadakan, Disbud Denpasar Akan Bahas Degan PHDI Dan MDA

Sukahet menuturkan, kasus terjangkit Covid-19 di Bali sudah sangat tinggi sekali,  rata-rata per harinya sudah mencapai 300 orang.

Bahkan kasus Covid-19 di Pulau Dewata pernah melonjak sebanyak hampir 500 orang per hari.

Oleh karena itu, menurutnya, protokol kesehatan harus ditaati.

Selain untuk meminimalisir penularan, protokol kesehatan ini juga memiliki aspek hukum.

"Aspek hukum itu bukan hukum di Bali, tapi hukum sudah nasional, kepolisian bisa bertindak. Ada aspek pidananya juga disamping aspek kesehatan," jelas Sukahet.

Sukahet menerangkan, arak-arakan ogoh-ogoh bukanlah rangkaian wajib dari Hari Raya Nyepi.

Menurutnya, di dalam berbagai tatwa ogoh-ogoh tidak diwajibkan, akan tetapi merupakan kreasi budaya dan adat yang bagus.

Kreasi ini lalu dikaitkan dengan rangkaian Hari Raya Nyepi yang jatuh pada Sasih Kesanga.

 "Tapi di sastranya apakah itu kewajiban, tidak! Oleh karena itu secara agama itu tidak wajib. Yang wajib tawur kesanganya kemudian catur bratha penyepian," kata dia.

Menurut Sukahet, meskipun pengarakan ogoh-ogoh sudah dilarang beberapa kali, namun yang terpenting saat ini adalah mengutamakan kesehatan terlebih dahulu.

Baca juga: Pawai Ogoh-ogoh Kembali Ditiadakan, Ketua STT di Denpasar: Kecewa, Tapi Astungkara Tetap Taat Aturan

"Yang penting kan kesehatan dulu, biar hidup kita dengan selamat. Jangan sampai kita malu secara nasional dan secara dunia juga (kalau) nanti ada klaster Nyepi. Waduh Nyepi kita kan jadi ternoda, kan malu kita," jelasnya.

Dirinya menilai, saat ini saja sudah terdapat klaster adat dan klaster agama, Bali sudah merasakan malu sekali.

 Oleh karena itu, dirinya mengajak masyarakat Bali jengah sehingga tidak ada klaster Nyepi.

Sukahet menuturkan, kebijakan untuk pelarangan arak-arakan ogoh-ogoh sebagai rangkaian Hari Raya Nyepi tahun ini dikeluarkan jauh lebih awal.

"Nyepinya bulan Maret, Januari sudah kita keluarkan SE. Supaya anak-anak muda kita, para yowana itu, bisa kemudian tidak terlalu mempersiapkan," jelasnya.

Berbeda dengan saat Nyepi sebelumnya, pelarangan arak-arakan ogoh-ogoh terkesan mendadak.

 Hal itu disebabkan karena kasus Covid-19 di Bali pertama kali ditemukan pada 11 Maret.

Sedangkan Hari Raya Nyepi juga jatuh pada bulan yang sama, tepatnya pada 25 Maret 2020.

Hal ini menyebabkan pelarangan arak-arakan ogoh-ogoh saat itu terkesan lebih mendadak.

"Nah kalau (ogoh-ogoh) yang dulu masih ada, simpan saja dulu. Karena yang paling penting adalah bagaimana pun kesehatan dan hidup kita semuanya, terutama tua-tua yang sedang sakit-sakit itu lebih penting dari pada sekadar arak-arakan ogoh-ogoh," kata dia.

Baca juga: BREAKING NEWS: Pawai Ogoh-ogoh Tahun 2021 Kembali Ditiadakan, Ini Tata Cara Melasti di Masa Pandemi

Nantinya setelah pandemi usai, Sukahet mengajak masyarakat untuk beramai-ramai untuk melaksanakan pawai atau perlombaan ogoh-ogoh.

"Saya kira gubernur, bupati, wali kota pasti akan mengadakan itu (usai pandemi)," tuturnya.

Di sisi lain, Sukahet pun menepis adanya anggapan bahwa kebijakan pelarangan arak-arakan ogoh-ogoh ini bisa menghilangkan kebudayaan Bali.

"Ampura itu ya, supaya kita berpikir lebih bijak di dalam kehidupan ini ada prioritas. Esensi budaya tidak pernah dikurangi," paparnya.

Terlebih saat Hari Raya Nyepi, berbagai hal seperti catur brata penyepian, tawur agung kesanga dan melasti tetap dilaksanakan.

 Hanya saja orangnya dibatasi dan esensi budayanya tetap jalan.

 "Cuma budaya hura-hura, megambelan (dan) rame-rame yang sekali lagi kita harus (kurangi)," paparnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved