Makna Purnama Sebelum Saraswati Dan Sesajen Yang Perlu Dihaturkan Dalam Ajaran Hindu Bali 

Umat diharapkan membuat persembahan sesuai kemampuan untuk dipersembahkan kepada para dewa, terutama Dewi Bulan.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Eviera Paramita Sandi
Tribun Bali/Rizal Fanany
Sejumlah Guru dan siswa menggelar persembahyangan Saraswati dengan menerapkan protokol kesehatan di Halaman Sekolah SMK Prada, Badung, Sabtu (4/7/2020). 

Watugunung menyanggupi hal itu, dan mengutus Sang Warigadean membawa surat menghadap Dewa Wisnu.

Guna meminta Dewi Nawang Ratih untuk dijadikan permaisuri.

Tentu saja Dewa Wisnu sangat tersinggung, dan menolaknya mentah-mentah.

Terjadilah perang, dimana para dewa kewalahan melawan Watugunung.

Lalu kemudian Bhagawan Wrehaspati, memberikan saran untuk menyelidiki kesaktian Watugunung.

Diutuslah Sang Lumanglang untuk menyelidikinya dengan berubah wujud menjadi laba-laba.

Masuk ke peraduan Sang Watugunung, dan didengarlah bahwa ia akan kalah hanya oleh seseorang yang memiliki Triwikrama berupa kura-kura.

Sang Lumanglang segera melaporkan kepada Dewa Wisnu, ihwal rahasia besar tersebut.

Akhirnya Dewa Wisnu bertriwikrama, dan menjadi kura-kura lalu menyerang Watugunung.

Tepat hari Minggu Kliwon, Sang Watugunung terbunuh dan mayatnya jatuh ke bumi.

Sejak saat itu, disebutlah kekalahan tersebut dengan nama 'Watugunung Runtuh'.

Setelah itu, beberapa kali kembali Watugunung dihidupkan kembali oleh Dewa Siwa. Namun kembali dikalahkan oleh Dewa Wisnu.

Lalu Watugunung dihidupkan kembali oleh Dewa Wisnu dengan syarat, karena sangat besar dosanya maka diturunkan derajatnya menjadi urutan terakhir.

Sehingga setiap 210 hari, ia akan mati dan disebut dengan hari Watugunung Runtuh atau Sandang Watang.

Dewa Siwa menyumpahi, bahwa seterusnya tidak boleh kawin dengan anak kandung. Atau mengawini istri orang lain, jika dilanggar maka akibatnya neraka.

Tepat hari Sabtu Umanis, para dewa mulai menyusun nama-nama raja menjadi wuku atau uku berjumlah 30.

Mulai dari Sinta sampai Watugunung. Dengan Pancawara, Saptawara, dan lain sebagainya.

Ida Rsi menjelaskan, sikap Watugunung yang lupa diri atas kesaktiannya menjadikannya 'aku' atau sombong dan angkuh.

 Filosofinya, sifat bodoh dan angkuh inilah yang dilebur, dengan kekalahan Sang Watugunung.

"Kemudian disambut dengan turunnya ilmu pengetahuan melalui Weda ketika Saraswati, yang jatuh pada Saniscara Umanis Watugunung," jelasnya kepada Tribun Bali, Rabu 27 Januari 2021.

 Turunnya ilmu pengetahuan ini, untuk menghilangkan Awidya atau kebodohan dan memberikan Widya atau pengetahuan kepada umat manusia. (*) 

Sumber: Tribun Bali
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved