Berita Bali
PPKM Mikro di Bali Diterapkan Mulai Besok, WFH Dilonggarkan Hingga 50 Persen
Kebijakan yang dinamai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Skala Mikro mulai diterapkan pada Selasa 9 Februari 2021.
Keluarnya Inmendagri itu dibenarkan oleh Kapuspen Kemendagri, Benny Irwan. “Benar,” ujarnya.
Inmendagri terkait PPKM mikro ditujukan kepada kepala daerah, yakni Gubernur, Bupati/Walikota di 5 provinsi Indonesia, yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Ada beberapa hal yang diatur dalam Inmendagri itu.
Di antaranya terkait kegiatan di perkantoran. Jika saat PPKM perkantoran diwajibkan melaksanakan kerja dari rumah atau work from home (WFH) hingga 75 persen, maka pada PPKM skala mikro ini kegiatan perkantoran diperbolehkan hingga 50 persen.
”PPKM mikro dilakukan dengan membatasi tempat kerja dengan menerapkan work from home (WFH) sebesar 50 persen dan work from office (WFO) sebesar 50 persen dengan memberlakukan protokol kesehatan secara lebih ketat,” begitu bunyi poin ke-19 yang tercantum dalam Inmendagri tersebut.
Dalam Inmendagri itu juga disebutkan bahwa kapasitas kegiatan makan di restoran diperbolehkan hingga 50 persen dan layanan pesan-antar dapat dilakukan sesuai jam operasional restoran dengan tetap mengedepankan protokol.
Kemudian untuk jam operasional restoran dan pusat perbelanjaan/mall diperbolehkan hingga pukul 9 malam waktu Indonesia tanpa mengesampingkan protokol. “Pemberlakukan PPKM Mikro mulai berlaku sejak tanggal 9 Februari 2021 sampai dengan tanggal 22 Februari 2021.”
Peraturan PPKM mikro ini disebut akan dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala hingga 4 minggu ke depan oleh masing-masing kepala daerah bersama dengan pemangku kepentingan terkait. Kepala daerah juga diimbau untuk memperkuat dan meningkatkan sosialisasi dan penegakan hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan.
Konsep Belum Jelas
Menanggapi rencana pemberlakuan PPKM mikro ini, epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo mengatakan, konsep dari kebijakan tersebut masih belum jelas, baik secara istilah maupun secara substansi.
"Apa yang dimaksud dengan PPKM berskala mikro? Apa istilah ini sama dengan karantina wilayah berskala mikro? atau apakah sekedar nama lain dari istilah semacam "kampung tangguh"?" kata Windhu.
Windhu mengatakan, kalau yang dimaksud dengan PPKM mikro adalah karantina wilayah tapi berskala mikro, berarti ada wilayah mikro (RT/RW/Desa-Kelurahan) yang dikarantina, tetapi ada juga yang tidak dikarantina.
"Apa indikator penetapan wilayah-wilayah mikro yang akan dikarantina dan yang tidak? Bukankah dalam kondisi testing rate dan contact tracing yang sangat kecil di Indonesia (3 persen populasi saja belum sampai) kita seperti punya peta buta, sehingga tidak bisa menetapkan wilayah mikro yang berisiko tinggi/rendah," kata Windhu.
Selain itu, dia juga mempertanyakan status wilayah mikro yang dianggap berisiko rendah karena dinilai tidak ada kasus atau kasusnya sedikit.
"Memang benar-benar tidak ada kasus atau kasus sedikit? Itu bisa sangat menyesatkan, karena bisa saja itu semu karena kita tidak mampu mendeteksinya akibat testing yang sangat lemah," kata Windhu melanjutkan.
Menurut dia, bila testing rate makin lemah, maka karantina wilayah yang diberlakukan harus makin makro, sedikitnya tingkat kota/kabupaten, atau tingkat provinsi, pulau atau nasional.
Sedangkan semakin tinggi testing rate, maka makin bisa dilakukan karantina wilayah yang mikro, bahkan sampai tingkat RT-RW.