Serba Serbi
Dosa Bunuh Diri dalam Ajaran Agama Hindu, Roh Menetap 60 Ribu Tahun, Berimbas pada Orang Lain
Ada yang beranggapan bunuh diri jalan terakhir dalam penyelesaian masalah. Padahal, bunuh diri tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Lanjut Ketua PHDI Bali ini, ada perbedaan besar antara meninggal wajar, ngulah pati, dan salah pati.
"Kalau salah pati, adalah kematian yang tidak disengaja, semisal karena kecelakaan. Berbeda dengan ngulah pati," jelasnya.
Seseorang yang meninggal salah pati, hanya perlu ngulapin di lokasi kecelakaan.
Serta ada aturan berbeda saat ngabennya.
"Nah dalam keputusan parisadha, orang yang salah pati dan ngulah pati.
Kini dianggap 'kadi wong mati bener' atau dalam artian diupacarai selayaknya seseorang yang meninggal wajar biasa," sebutnya.
Perubahan ini dilakukan, karena kalau digunakan landasan lontar-lontar kuno di Bali, atau lontar lama.
Rasanya memberikan perbedaan yang sangat berjarak antara seseorang yang meninggal wajar, salah pati, dan ngulah pati.
Semua ini telah diputuskan dalam pesamuan parisadha, melihat sisi humanismenya.
Hanya saja memang ada banten tambahannya, seperti banten pengulapan, guru piduka, pabersihan, dan upakara sebagainya sesuai aturan atau awig-awig.
Sehingga dengan banten tambahan pada upacara ngaben ini, maka seseorang yang meninggal tidak wajar rohnya bisa tenang.
Tidak akan diam di tempat ia meninggal.
Dalam keputusan parisadha, seseorang yang ngulah pati atau salah pati seharusnya memang dikubur terlebih dahulu.
Namun ada keluarga yang ingin agar mayatnya segera diaben.
Perubahan tradisi ini dimaklumi, asal sesuai aturan dan awig-awig yang berlaku, serta disetujui prajuru adat baik di banjar maupun di desa.
"Sekarang memang ada yang langsung diupacarai, tetapi ada yang langsung dipendem," ujarnya.