Corona di Dunia

Vatikan Peringatkan Karyawan yang Tolak Vaksin Covid-19 Bisa Kehilangan Pekerjaan

Kardinal Bertello mengatakan, melakukan vaksinasi Covid-19 adalah pilihan bertanggungjawab karena tidak ada risiko yang membahayakan orang lain.

Editor: DionDBPutra
Tribun Bali/Rizal Fanany
Ilustrasi vaksin Covid-19. Vatikan memperingatkan para karyawan yang menolak vaksinasi Covid-19 tanpa alasan kesehatan resmi bisa kehilangan pekerjaannya. 

TRIBUN-BALI.COM, KOTA VATIKAN - Vatikan memperingatkan para karyawan yang menolak untuk vaksinasi Covid-19 tanpa alasan kesehatan resmi bisa kehilangan pekerjaannya.

Reuters melaporkan Kamis 18 Februari 2021, keputusan tersebut dikeluarkan Kardinal Giuseppe Bertello yang secara efektif menjabat sebagai gubernur Kota Vatikan.

Bertello mengatakan, melakukan vaksinasi Covid-19 adalah pilihan bertanggungjawab karena tidak ada risiko yang dapat membahayakan orang lain.

Baca juga: Paus Fransiskus Segera Disuntik Vaksin dan Mengecam Mereka yang Menolak Vaksin Covid-19

Baca juga: Presiden Turki Disuntik Vaksin Sinovac, Mengecam Mereka yang Menolak Vaksinasi

Baca juga: Gara-gara Tolak Vaksin Covid-19, Ribka Tjiptaning Kini Dirotasi ke Komisi VII DPR RI

Vatikan, negara terkecil di dunia dengan luas wilayah 44 hektare, sudah memulai program vaksinasi pada Januari 2021.

Paus Fransiskus (84) termasuk kelompok mereka pertama yang mendapatkan suntikan vaksin virus corona.

Dalam keputusan setebal 7 halaman disebutkan seorang karyawan tidak dapat divaksinasi karena alasan kesehatan dapat diberikan posisi lain, yang mungkin mereka akan melakukan kontak dengan lebih sedikit orang.

Namun, akan menerima bayaran yang sama, bahkan jika pos itu lebih rendah pangkatnya.

Dalam Pasal hukum 2011 disebutkan bahwa karyawan yang menolak melakukan langkah pencegahan dapat dikenakan "berbagai tingkat konsekuensi yang dapat menyebabkan pemecatan".

Keputusan itu ditandatangani pada 8 Februari 2021 lalu didiunggah di situs gubernur.

Paus Fransiskus sangat mendukung program vaksinasi untuk menangani pandemi virus corona.

"Ini adalah pilihan etis karena Anda bertaruh dengan kesehatan Anda, dengan hidup Anda, tetapi Anda juga bertaruh dengan nyawa orang lain," kata Sri Paus dalam wawancara dengan stasiun televisi Italia pada bulan lalu.

Vatikan telah mewajibkan vaksinasi Covid-19 bagi jurnalis yang mendampingi Paus Fransiskus dalam perjalanannya ke Irak pada bulan Maret nanti.

Bertello, yang menandatangani keputusan itu, dinyatakan positif mengidap virus corona pada Desember dan menjalani isolasi diri.

Sejauh ini kurang dari 30 kasus virus corona di Kota Vatikan, kebanyakan di antara Garda Swiss, yang tinggal di barak komunal.

130 Negara Belum Terima Vaksin

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dengan tajam mengkritik distribusi vaksin Covid-19 yang sangat tidak merata dan tidak adil.

Ada 10 negara telah memesan 75 persen dari semua dosis vaksin yang tersedia. Sementara 130 negara masih belum menerima satu dosis pun vaksin Covid-19.

Pimpinan PBB itu, seperti dikutip dari Kompas.com, menuntut upaya global, untuk membuat semua orang di setiap negara divaksinasi sesegera mungkin .

"Pada saat kritis ini, ekuitas vaksin adalah ujian moral terbesar di hadapan komunitas global," kata Guterres dalam pertemuan tingkat tinggi dewan keamanan PBB pada Rabu 17 Februari 2021 seperti dilansir Guardian.

Guterres menyerukan sesegera dibuat rencana vaksinasi global, dengan menyatukan mereka yang memiliki kekuatan untuk memastikan distribusi vaksin yang adil. Semua mulai dari ilmuwan, produsen vaksin dan mereka yang dapat mendanai upaya tersebut.

Dia meminta kekuatan ekonomi utama dunia dalam G20 untuk membentuk gugus tugas darurat, untuk membuat rencana dan mengoordinasikan pelaksanaan dan pembiayaannya.

Menurutnya, satuan tugas itu harus memiliki kapasitas untuk memobilisasi perusahaan farmasi dan pelaku industri dan logistik utama.

Dia berharap pertemuan pada Jumat 19 Februari 2021 yang dilakukan G7 (negara industri besar - Amerika Serikat (AS), Jerman, Jepang, Inggris, Prancis, Kanada dan Italia), dapat menciptakan momentum untuk memobilisasi sumber daya keuangan yang diperlukan.

Tiga belas menteri berpidato di pertemuan dewan virtual yang diselenggarakan oleh Inggris. Membahas tentang peningkatan akses ke vaksinasi Covid, termasuk di daerah konflik.

Virus corona telah menginfeksi lebih dari 109 juta orang dan menewaskan sedikitnya 2,4 juta orang, menurut pelacak Universitas Johns Hopkins.

Saat produsen berjuang untuk meningkatkan produksi vaksin, masih banyak negara mengeluh “ditinggalkan”. Negara kaya bahkan menghadapi kekurangan dan keluhan domestik.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sudah menginisiasi Program Covax. Proyek ini membeli dan memberikan vaksin virus corona bagi orang-orang termiskin di dunia.

Namun rencana program meleset dari target awal saat diluncurkan. Semula diharapkan program ini bisa memulai vaksinasi virus corona di negara-negara miskin, bersamaan dengan program inokulasi yang diluncurkan di negara-negara kaya.

WHO mengatakan Covax membutuhkan 5 miliar dolar AS pada tahun 2021.

Dalam pertemuan itu, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken menyatakan niat pemerintahan Biden akan bekerja dengan mitranya di seluruh dunia.

Khususnya untuk memperluas kapasitas produksi dan distribusi, serta meningkatkan akses, termasuk ke populasi yang terpinggirkan.

Presiden Joe Biden telah bergabung kembali dengan WHO. Blinken juga mengumumkan pada akhir Februari AS akan membayar lebih dari 200 juta dollar AS (Rp 2,8 triliun).

Uang itu merupakan kewajiban sesuai ketentuan PBB, dalam upaya mereformasi hubungan dengan Washington.

Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, mengkritik tumbuhnya kesenjangan imunitas dan menyerukan dunia untuk bersatu menolak nasionalisme vaksin.

Beijing juga mempromosikan distribusi vaksin yang adil dan merata. Khususnya, membuat vaksin covid-19 dapat diakses dan terjangkau untuk dikembangkan negara, termasuk yang berkonflik ”.

Atas permintaan WHO, katanya, China akan menyumbangkan 10 juta dosis vaksin untuk Covax pada tahap awal.

China telah menyumbangkan vaksin kepada 53 negara berkembang termasuk Somalia, Irak, Sudan Selatan dan Palestina, yang merupakan negara diawasi PBB.

Menurutnya, negeri Tirai Bambu a telah mengekspor vaksin ke 22 negara. Selain itu juga meluncurkan kerja sama penelitian dan pengembangan vaksin Covid-19, dengan lebih dari 10 negara.

Sementara Menteri Luar Negeri India, Subrahmanyam Jaishankar, juga menyerukan agar negara-negara menghentikan "nasionalisme vaksin" dan dorongan untuk internasionalisme.

“Menimbun dosis yang berlebihan akan menggagalkan upaya kita untuk mencapai keamanan kesehatan kolektif,” dia memperingatkan.

Jaishankar mengungkapkan ada dua vaksin, termasuk satu yang dikembangkan di India, telah diberikan otorisasi darurat di negaranya. Sebanyak 30 kandidat vaksin sedang dalam berbagai tahap pengembangan.

Dia mengumumkan telah memberikan 200.000 dosis vaksin Covid-19 untuk sekitar 90.000 pasukan perdamaian PBB yang bertugas di lusinan titik konflik di seluruh dunia.

Menteri Luar Negeri Meksiko, Marcelo Ebrard, yang juga menjadi Presiden Komunitas Amerika Latin dan Karibia, menyerukan untuk mempercepat Covax dan menghentikan penimbunan yang tidak semestinya dan monopoli vaksin.

Dia mendesak agar prioritas diberikan kepada negara-negara dengan sumber daya terbatas.

Sebab realita menunjukkan negara-negara ini tidak akan memiliki akses luas ke vaksin bahkan sampai pertengahan 2023, jika tren saat ini terus berlanjut.

“Apa yang kami lihat adalah kesenjangan yang sangat besar,” kata Ebrard.

“Faktanya, saya rasa kita belum pernah melihat kesenjangan sebesar itu memengaruhi begitu banyak orang dalam waktu yang sesingkat ini. Itulah mengapa penting untuk membalikkan kondisi ini. "

Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab, yang negaranya menjabat sebagai presiden dewan keamanan bulan ini dan memimpin pertemuan virtual tersebut, mendesak badan paling kuat PBB ini untuk mengadopsi resolusi yang menyerukan gencatan senjata lokal di zona konflik. Jadi memungkinkan proses pengiriman vaksin Covid-19.

Inggris mengatakan lebih dari 160 juta orang berisiko dikeluarkan dari vaksinasi virus corona, karena mereka tinggal di negara-negara yang dilanda konflik dan ketidakstabilan, termasuk Yaman, Suriah, Sudan Selatan, Somalia, dan Ethiopia.

Akan tetapi, Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, justru melontarkan keberatan atas usulan anggota dewan yang berfokus pada akses yang adil ke vaksin.
Kremlin menilai hal ini melampaui mandat Dewan Keamanan PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

Artikel ini sudah tayang di Kompas,com berjudul Vatikan Ancam Karyawan yang Tolak Vaksin Covid-19 dapat Kehilangan Pekerjaan

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved