Berita Bali
Sejahterakan Pembuat Arak Bali, Perpres Mikol di Mata Pedagang dan Pembuat Arak
Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perpres No 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal
Penulis: Putu Supartika | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perpres No 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Perpres No 10 Tahun 2021 ini diterbitkan pada 2 Januari 2021 sebagai pelaksanaan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Gubernur Bali, Wayan Koster menyambut baik terbitnya Perpres tersebut karena membuat minuman beralkohol (Mikol) di Bali sah untuk diproduksi dan dikembangkan.
Sementara pemilik warung Pan Tantri, I Kadek Darma Apriana (36) yang berlokasi di Sanur mengapresiasi terbitnya Perpres tersebut.
Namun ia berharap Perpres ini mampu mensejahterakan petani arak Bali.
Baca juga: Jokowi Teken Perpres, Pedagang Arak Bali Harap Aturan Berpihak ke Petani Kecil, Bukan Pebisnis Besar
Baca juga: Pemprov Bali Klarifikasi Terkait Larangan Pesta Miras kecuali Arak Bali Saat Natal dan Tahun Baru
Baca juga: Ratusan Liter Tuak di Belimbing Tabanan Diserap per Hari, Dijadikan Bahan Baku Memproduksi Arak Bali
“Saya takutnya, ketika Perpres ini keluar malah jadi tipu-tipu. Karena dengan dibuatkan aturan, dilegalkan, akan banyak persyaratan tertentu harus terpenuhi yang justru membuat ruang gerak petani sempit,” kata lelaki dengan panggilan Unggit ini saat ditemui, Selasa 23 Februari 2021 sore.
Ia mengatakan, semenjak keluarnya Pergub No 1 tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan atau Destilasi Khas Bali keberadaannya semakin sulit.
Pedagang arak harus memiliki pabrik, koperasi, izin BPOM, cukai, hingga SIUP minuman beralkohol. Hal itu, menurutnya, malah semakin merugikan masyarakat kecil.
“Pergub yang keluar kemarin menurut kami adalah jebakan, karena yang melanggar akan langsung kena pidana dengan denda yang besar, dan warung akan di-police line,” katanya.
Sementara, sebelum keluarnya Pergub ini, sanksinya hanya sidang tindak pidana ringan.
“Ini warung kecil, ngurus badan hukum, apalagi cukai, akan semakin mahal biayanya. Hal ini juga berimbas pada harga jual,” katanya.
Padahal sasarannya adalah warga penikmat arak dengan ekonomi menengah ke bawah.
Sementara jika kena cukai, dari perhitungan kasar Unggit, harga arak menjadi Rp 140 ribu yang semula hanya Rp 28 ribu per botol.
“Jadinya, kami kan tidak bisa menjual untuk orang sekitar sini,” katanya.
Ia pun mengaku aturan yang dibuat lebih menguntungkan pebisnis besar ketimbang petani arak dan pedagang arak kecil.
Dirinya pun berharap, apa yang tertuang dalam Perpres ini, dalam pelaksanaannya benar-benar berpihak pada petani arak dan bukan pada pebisnis besar.
“Harapannya, pemerintah pusat bisa mewadahi pelaku atau pengusaha arak seperti ini, melindungi kami, mensejahterakan kami, dan mempermudah dalam perizinan,” katanya.
Untuk arak yang dijual di warung miliknya, dirinya mengambil dari Sidemen, Karangasem, Bali.
Dirinya pun mulai menggeluti usaha penjualan arak ini sejak 8 tahun lalu dengan banyak suka dan duka yang dialami.
Hal senada dikatakan seorang pengecer arak di Sanur, Wayan Odah.
Dia menyambut baik keluarnya Prespres tersebut. Namun walaupun aturan sudah keluar, termasuk adanya Pergub No 1 tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan atau Destilasi Khas Bali, pedagang arak masih tetap kebingunan mencari izin.
“Untuk aturan itu saya salut, tapi dari pengecer atau penjual belum ada aturan terkait jalurnya nyari izin. Apalagi saya hanya menjual arak saja dan tidak ada produk luar,” kata Odah, Selasa.
Ia mengatakan, aturan untuk bisa menjual arak tersebut harus memiliki izin restoran maupun pub.
Dengan izin tersebut, menurutnya, yang dijual bukan hanya arak saja, melainkan minuman dari luar. Sehingga akan sangat sulit untuk menjual arak saja.
“Kalau menurut saya, masyarakat kecil belum kena aturan ini. Yang kena kan yang sudah besar, seperti produsen besar, restoran dan pub,” katanya.
Bahkan dirinya sempat mengurus izin untuk arak ini, namun yang ditawarkan adalah izin restoran dan bukan izin khusus untuk arak.
“Saya sudah dapat ngurus izin, tapi ditawari izin restoran. Izin khusus jual araknya tidak ada, kan tidak jalan,” katanya.
Ia menambahkan, terkait adanya cukai, dirinya pun mengaku sah-sah saja.
Namun, jika arak tersebut sasarannya hanya masyarakat lokal dinilai akan memberatkan.
Dengan ketidaktahuan dan kebingungan dalam mencari izin ini, Odah mengaku masih harus kucing-kucingan saat menjual arak.
Bahkan, meskipun sudah ada aturan, seperti Pergub dan Perpres terbaru ini, ia tetap waswas akan digrebek petugas karena usahanya belum memiliki izin.
Oleh karenanya, selain keluarnya regulasi, Odah membutuhkan kejelasan terkait izin bagi pengecer dan warung.
Sehingga mereka merasa nyaman dalam menjual arak yang merupakan minuman khas Bali ini.
Bahkan dirinya mengaku telah terjun dalam dunia penjualan arak sejak tahun 1990an.
Dirinya juga bekerjasama dengan 35 KK petani arak dari Bebandem, Karangasem.
Namun seiring berjalannya waktu dan takut digrebek aparat, banyak petani yang tak memproduksi arak lagi.
“Sekarang masih tersisa kurang lebih 15 KK petani yang saya ajak kerjasama,” katanya.
Keluhan senada disampaikan para produsen arak di Karangasem. Nyoman Redana, petani arak asal Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, mengatakan, peraturan yang dikeluarkan oleh gubernur maupun presiden tak berimbas ke petani tradisional.
Arak dari kelapa tidak berkembang sesuai harapannya. Kondisi tersebut terjadi setelah ada peraturan legalitas.
"Arak tak bisa berkembang seperti harapan. Kondisi ini teerjadi setelah ada legalitas arak. Dari sinilah banyak fermentasi arak dari gula yang beredar di pasaran. Sehingga mengakibatkan permintaan arak tradisional menurun," kata I Nyoman Redana saat dihubungi, Selasa.
Saat ini arak tradisional kalah bersaing dengan arak fermentasi dari gula di pasaran.
Harga arak dari gula lebih murah dibanding minuman arak tradisional.
Ditambahkan, harga arak gula hanya Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu per liter, sedangkan arak tradisional dari kelapa mencapai Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu lebih per liter.
Puluhan petani arak tradisional di Telaga Tawang, Kecamatan Sidemen, Karangasem sementara berhenti manjat pohon kelapa dan mengiris bunga untuk bahan minumn arak tradisional.
Para petani arak berhenti sementara karena permintaan arak dan harga turun drastis.
Perbekel Telagatawang, I Komang Muja Arsana, mengatakan, petani arak tradisional sementara berhenti lantaraan arak tradisional kalah bersaing di pasaran dengan arak fermentasi dari gula.
Mengingat minuman arak fermentasi gula mulai menjamur di Karangasem.
Harganya pun lebih murah.
Menurut dia, selama 6 hari petani mampu hasilkan 90 liter tuak. Setelah disuling menjadi 10 liter arak.
Harga arak sekitar Rp 20 ribu per liter.
Pendapatan petani dalam waktu 6 hari Rp 200 ribu atau Rp 34 ribu per hari.
Sekarang arak tradisional tak laku dijual karena ada arak fermentasi yang dijual lebih murah.
Untuk diketahui, menurut data dari Dinas Perindutrian dan Perdagangan (Disprindag) Kabupaten Karangasem, jumlah petani arak sekitar 7.600 orang dan tersebar di empat kecamatan, yakni Kecamatan Manggis, Sidemen, Abang, dan Kubu.
Seperti di Telagatawang, Tenganan, Dukuh, Sidemen, Tri Eka Buana.
Produksi arak di Kabupaten Karangasem mencapai sekitar 2.650.000 botol per tahun.
Seandainya dikalkulasi berarti petani arak mampu memproduksi sekitar 220.000 botol per bulan.
Disperindag Mengawasi
Selama ini terkait penjualan minuman beralkohol baik khas Bali maupun minuman luar tetap dalam pengawasan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Denpasar.
Sampai saat ini pihaknya mengawasi seratus lebih distributor dan pengecer mikol.
“Yang kami awasi itu yang berizin. Kami hanya mengawasi saja,” kata Kabid Perdagangan Disperindag Kota Denpasar, Ida Bagus Yoga Endharta, Selasa.
Sementara itu, untuk izinnya, menurut Endharta, tetap berada di Dinas Perizinan dan juga dari Provinsi.
“Kami hanya melakukan pengawasan, kapan izinnya berakhir kami cek ke sana. Kalau izin dikeluarkan dari Provinsi dan Dinas Perizinan,” katanya.
Dirinya menambahkan, khusus untuk mikol yang dijual di warung-warung tetap dianggap ilegal karena tanpa izin.
“Semua harus legal, kalau arak yang dijual di warung-warung kan tetap ilegal kalau tidak berizin,” katanya.
Sementara itu, terkait dengan penertiban pihaknya melakukan koordinasi dengan Satpol PP.
Beri Edukasi dan Akses Perizinan
MINUMAN beralkohol khas Bali resmi mendapat izin dari pemerintah pusat untuk diproduksi dan dikembangkan secara luas.
Bahkan, hal ini telah tercatat dan diumumkan melalui berlakunya Perpres No 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal meliputi arak Bali, brem Bali, dan tuak Bali.
Mengenai hal tersebut, Ketua Komisi II DPRD Bali, Ida Gde Komang Kresna Budi menegaskan pihaknya mendukung penuh hal tersebut.
Menurutnya, hal tersebut justru akan semakin memberikan kepastian hukum terkait dengan pengembangan dan produksi dari minuman alkohol tradisional khas Bali tersebut.
"Baguslah, jadi ada kepastian hukumnya," kata dia Selasa 23 Februari 2021.
Ia menjelaskan, setelah pengesahan regulasi tersebut, ia mengingatkan adanya pengawasan terkait dengan peredaran dan perizinan minuman tersebut.
Ini dilakukan agar pemerintah sebagai pemegang kebijakan mampu dan mengontrol peredarannya agar tidak disalahgunakan di masyarakat.
"Yang pertama, produsen harus berizin dulu. Ada pengawasan dari BPOM, ada ijin edarnya juga. Selama ini yang menggunakan UU Mikol sudah berjalan," terangnya.
Pria yang juga Ketua DPD II Golkar Buleleng ini mengaku bahwa dengan adanya Perpres itu sendiri merupakan sebuah kemajuan bagi perkembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), khususnya para perajin arak di Bali.
Pun begitu, ia mengingatkan agar pemerintah memberikan edukasi mengenai Perpres tersebut agar tidak memunculkan salah persepsi di masyarakat.
Kresna Budi menilai jika banyak masyarakat yang masih salah mengira jika dengan adanya Perpres tersebut membuat minuman beralkohol khas Bali menjadi bebas beredar tanpa izin di pasaran.
"Berikan tenggang waktu dan edukasi kepada masyarakat. Bila peredaran itu tidak diawasi akan berdampak pada negatif. Jadi niat baik dari pemerintah, kalau ada izin resmi kan sama-sama enak," tandasnya.
Pihaknya juga mendesak agar Pemprov Bali agar lebih peka terhadap kebutuhan dan apa yang menjadi kendala para perajin minuman alkohol tradisional Bali.
Misalnya saja dengan memberi kemudahan dalam mengurus perizinan.
"Kita berharap Pemprov dan dinas terkait bisa jemput bola. Fasilitasi masyarakat kita dalam hal perizinan. Apa saja yang harus dipenuhi. Kalau biasanya masyarakat harus datang, sekarang jemput bola lah sebagai bentuk perhatian," katanya.
(sup/ful/gil)