Harga Cabai Rawit Melambung Tinggi Capai Rp 120 Ribu Per Kilogram, Padahal Normalnya Rp 30 Ribu

Tingginya harga cabai rawit telah terjadi sejak beberapa bulan terakhir. Di tingkat petani pun, imbuhnya, harga cabai rawit merah juga

Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Eviera Paramita Sandi
Tribun Bali/Noviana Windri Rahmawati
Ilustrasi Cabai Merah 

TRIBUN-BALI.COM, BANGLI – Kerusakan komoditi pertanian, khususnya cabai merah menyebabkan harga cabai merah melambung tinggi.

Tak tanggung-tanggung harganya bahkan capai Rp 120 ribu per kilogram. 

Hal ini dibenarkan oleh Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan (PKP) Bangli I Wayan Sarma.

Menurutnya di Pasar Singamandawa, Kintamani, Bangli, Bali pada Senin 8 Maret 2021, harga cabai rawit merah mencapai Rp 120 ribu per kilogram.

Harga itu terus meningkat selama 3 hari terakhir. 

“Tiga hari lalu harganya masih Rp. 110 ribu per kilo, dan sejak hari ini menjadi Rp. 120 ribu. Begitupun di pasar-pasar lainnya, rata-rata juga sekian. Sementara di Pasar Kidul, sejak kemarin harga cabai rawit sudah Rp. 120 ribu per kilo,” jelasnya.

Tingginya harga cabai rawit telah terjadi sejak beberapa bulan terakhir.

Di tingkat petani pun, imbuhnya, harga cabai rawit merah juga tergolong tinggi.

Yakni berkisar Rp. 110 ribu hingga Rp. 115 ribu.

“Harga cabai rawit merah sendiri normalnya hanya Rp. 30 ribu hingga Rp. 40 ribu,” ucapnya.

Sarma mengatakan peningkatan harga cabai rawit merah tidak terlepas karena hukum pasar.

Di mana ketersediaan barang lebih sedikit dibandingkan permintaan. Menurut Sarma, penurunan produksi ini disebabkan pengaruh cuaca buruk.

Sesuai data yang dihimpun, Kadis asal Desa Tembuku itu menyebut penurunan produksi cabai rawit merah di Bangli mencapai 50 persen, dari total produksi per tahun sebesar 28.655 ton.

 Kondisi ini terjadi akibat penyakit antraknosa, yang menyebabkan cabai para petani rontok dan busuk.

“Sentral cabai di Bangli merata di beberapa desa. Seperti di Desa Terunyan, Desa Songan, Desa Bayunggede, Desa Abang Batudinding, Desa Katung, Desa Pinggan. Biasanya dipasarkan ke Klungkung, Tabanan hingga Denpasar,” sebutnya.

Dengan jumlah produksi 28.655 ton per tahun, Sarma mengatakan jumlah tersebut hanya mampu memenuhi 1,13 persen memenuhi kebutuhan cabai di Bali.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan produksi cabai besar merah asal Bangli sebesar 10.188 ton per tahun, yang mampu memenuhi 73,76 persen kebutuhan di Bali.

“Walau demikian cabai besar juga mengalami penurunan produksi, sekitar 18 sampai 20 persen. Namun demikian hal ini tidak terlalu terdampak karena konsumsi cabai besar lebih ke konsumsi industry makanan, bukan konsumsi rumah tangga,” katanya.

Kendati terdampak cuaca, Sarma mengatakan masih ada petani yang tetap menanam cabai.

Sebab menurutnya, walaupun produksi yang dihasilkan rendah modal yang dikeluarkan masih tetap kembali lantaran harga jualnya yang tinggi.

“Kalau sampai gagal panen 100 persen tidak. Namun kalau penurunan produksi memang ada,” imbuhnya.

Sarma juga mengatakan tingginya harga cabai masih berpotensi meningkat, mengingat jelang hari raya Nyepi dan Galungan.

Begitupun dengan komoditas lainnya, seperti bawang merah, telur ayam, daging ayam.

“Kalau daging babi memang kami perkirakan sampai galungan masih mahal. Mungkin setelah Galungan baru turun. Seiring dengan pertambahan populasi, serta kebutuhan masyarakat untuk upacara agama. Untuk harga cabai, diasumsikan mulai turun sekitar bulan Mei, karena curah hujan sudah menurun dan para petani sudah mulai kembali menanam,” ucapnya. (*) 

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved