Ramadan

Megibung, Tradisi Unik Masyarakat Karangasem Bali Untuk Sambut Bulan Suci Ramadhan

Tradisi megibung berasal dari kata 'gibung' yang berarti saling berbagi antara satu dengan yang lainnya.

Editor: Noviana Windri
Tribun Bali/Rizal Fanany
sejumlah anak-anak menyantap hidangan berbuka puasa dalam tradisi megibung saat bulan Ramadan di Masjid Al-Muhajirin, Kampung Islam Kepaon, Denpasar, Rabu (15/5/2019). 

TRIBUN-BALI.COM - Bulan Suci Ramadan 2021 tinggal menghitung hari lagi.

Biasanya umat muslim di Indonesia memiliki sejulah tradisi unik untuk menyambut kedatangan Ramadan.

Seperti satu di antaranya ada tradisi megibung dari Kabupaten Karangasem, Bali.

Karangasem merupakan satu wilayah yang berada di ujung timur Pulau Dewata, Bali.

Tradisi megibung berasal dari kata 'gibung' yang berarti saling berbagi antara satu dengan yang lainnya.

Sesuai namanya, tradisi megibun dilakukan oleh banyak orang dengan cara makan bersama dan saling bercengkrama.

Baca juga: Dari Mendoan Hingga Dawet Ireng, Ini Rekomendasi 6 Kuliner Khas Jawa Tengah untuk Menu Buka Puasa

Baca juga: Rekomendasi 7 Menu Sahur ala Anak Kos, Praktis dan Bikin Kenyang Selama Jalani Puasa Ramadan

Megibung merupakan tradisi turun-temurun masyarakat Karangasem, Bali yang diperingati untuk menyambut bulan suci Ramadan.

Konon tradisi megibung ini diprakarsai pertama kali oleh Raja Karangasem yaitu I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem.

Raja Karangasem tersebut mulai memperkenalkan megibung sekitar 1614 Caka atau tepatnya 1692 Masehi.

Tradisi megibung bermula dari Raja Karangasmem yang menang dalam perang menaklukan kerajaan-kerajaan di Sasak, Lombok.

Pada saat itu Raja Karangasem mengajak para prajuritnya untuk beristirahat dan makan bersama dengan posisi melingkar.

Tradisi makan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah megibung hingga sekarang.

Tradisi Megibung untuk sambut Ramadan

Umat Muslim di Kampung Jawa, Kelurahan Kampung Singaraja, Kecamatan Buleleng saat menggelar tradisi Megibung pada Jumat (15/6/2018) pagi.
Umat Muslim di Kampung Jawa, Kelurahan Kampung Singaraja, Kecamatan Buleleng saat menggelar tradisi Megibung pada Jumat (15/6/2018) pagi. (Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani)

Tradisi megibun di Karangasem, Bali, kerap dilakukan untuk menyambut momen-momen tertentu.

Seperti satu di antaranya untuk menyambut bulan suci Ramadan.

Dalam tradisi megibung terdapat sejumlah istilah yang identik dengan perayaannya.

Istilah tersebut di antaranya ada 'sele' artinya orang yang bergabung dan duduk bersama untuk menikmati tradisi megibung dalam satu kelompok.

Kedua, 'gibungan' yaitu segepok nasi dengan alas gelaran (dari daun pisang) yang ditaruh di atas dulang atau nampan.

Kemudian terakhir ada 'karangan' yang berarti lauk pauk yang bervariasi.

Baca juga: 12 Jajanan Pasar Yang Selalu Diburu Untuk Menu Takjil Buka Puasa

Merujuk pada istilah tersebut tradisi megibung memang dilakukan dengan cara makan dalam satu wadah.

Untuk melakukan tradisi ini tentu tidak sembarang karena ada tata caranya tersendiri.

Mula mula seorang warga harus menyiapkan makanan di atas wadah (gibungan) kemudian barulah menaruh lauk pauk.

Lauk pauk dalam tradisi gibungan juga disajikan dalam berbagai pilihan.

Mulai dari lawar, kekomoh, urab (nyuh-nyuh) putih dan barak, padamare, urutan, marus, balah hingga sate.

Dalam menyusun lauk saat tradisi megibun juga terbilang unik karena memilki urutan tersendiri dan akan disusun oleh seorang 'sale'.

Penyusunan tersebut dimulai dari kekomoh dan urab yang disusun pertama kali, kemudian lawar, daging dan terakhir adalah balah.

Satu porsi nasi dan lauk yang sudah tersusun tersebut oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah satu sela.

Satu sela yang dimaksud adalah satu kelumpok yang akan menikmati hidangan gibungan.

Satu kelompok biasanya terdiri dari 5-8 orang dengan posisi duduk bersila dan melingkar.

Pada setiap kelompok ini nantinya akan dipimpin oleh seorang pepara yang bertugas untuk mengkordinir prosesi tradisi.

Sebelum melakukan tradisi megibun juga terdapat etika yang harus dipenuhi oleh semua masyarakat.

Di antaranya yaitu mencuci tangansebelum makan dan tidak boleh menjatuhkan sisa makanan dari suapan saat sedang makan.

Kemudian tidak boleh mengambil makanan yang ada di sebelah, dan apabila ada warga yang sudah kenyang maka tidak diperbolehkan meninggalkan tempat atau meninggalkan temannya.

Baca juga: Rekomendasi 6 Makanan Terbaik Untuk Menu Buka Puasa Ramadhan

Baca juga: Puasa Ramadan di Tengah Pandemi Covid-19, Ikuti 4 Tips Ini Agar Puasa Lancar Sampai Berbuka

Tradisi megibung di Masjid Al-Muhajirin, kampung islam Kepaon, Denpasar. Sabtu (27/6/2015). Megibung merupakan tradisi makan bersama dibulan ramadhan setiap sepuluh hari dengan menyelesaikan 30 juzz Al-Qur'an.(Tribun Bali/Rizal Fanany)
Tradisi megibung di Masjid Al-Muhajirin, kampung islam Kepaon, Denpasar. Sabtu (27/6/2015). Megibung merupakan tradisi makan bersama dibulan ramadhan setiap sepuluh hari dengan menyelesaikan 30 juzz Al-Qur'an.(Tribun Bali/Rizal Fanany) (tribun bali)

Selain itu, hal unik dalam tradisi megibung juga dapat dilihat dari penyediaan minum yang ditaruh dalam kendi tanah liat.

Cara meminumnya harus diteguk dari ujung kendi sehingga bibir tidak menyentuh kendi.

Cara minum seperi ini dikenal warga sekitar dengan istilah nyeret.

Namun seiring berjalannya waktu, tradisi minum dalam kendi ini diganti dengan air mineral kemasan.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved